Pada Suatu Tanggal di Bulan September

Saya ingin mendedikasikan hari ini bagi diri saya sendiri. Tanpa peduli pada ekspektasi publik. Tak seperti seorang wanita yang tengah gundah di depan meja pemesanan. Ini sudah ketiga kalinya ia menolak rekomendasi barista. “Takut gendut,” jawab wanita itu setiap kali menolak usulan yang diberikan. Baginya gendut itu jauh dari sempurna  (atau bagi standar populer?). Ia bimbang hendak menyuguhkan sarapan apa kepada dirinya sendiri.

“Hi, Kak! Mau memesan apa pagi ini?” Akhirnya tiba giliran saya untuk memesan sarapan.

“Espresso Brownies dan Grande Signature Hot Chocolate,” jawab saya dengan lantang.

Wanita gundah itu mengangkat sepasang alisnya dan menoleh ke arah saya.

“Nggak kebanyakan?” Wanita itu bertanya. Saya hanya membalasnya dengan seuntai senyum.

Jujur, saya bingung. Apa cara terbaik untuk menanggapi kalimat tersebut? Bahkan, sampai saat saya menganggit artikel ini pun, saya masih bertanya-tanya, Apakah ucapannya itu adalah sebuah pertanyaan atau pernyataan?

Yang saya tahu pasti, saya sekadar ingin menikmati segelas susu hangat yang telah bercampur dengan pahit manis bubuk cokelat. Membiarkan larutan magis tersebut membasuh kegetiran dunia nyata yang kini kian terasa maya. Semaya hubungan asmara pasangan di hadapan saya ketika sedang menorehkan kisah ini. Yang wanita tengah menggenggam erat tangan pasangannnya sambil bertanya,“Kamu dipromosi menjadi supervisor sejak kapan?”

Sang pria menyebutkan satu nama bulan.

“Selain kenaikan gaji, apa lagi yang kamu dapat setelah menjadi supervisor?” Sang wanita kembali bertanya.

Yang pria, dengan nada bangga, menjelaskan seluruh paket keuntungan dan kompensasi yang diterima. Sembari berceloteh, ia menatap sang wanita lekat-lekat. Atau lebih tepatnya, ia menatap lekat sepasang dada penuh yang nyaris tak tertutup atasan merah berpotongan rendah.

Sebuah kolaborasi antara cinta ejakulatif dan konspirasi kemakmuran hati sedang terjadi rupanya.

Saya paham pernyataan ini sangatlah lancang. Selancang kebenaran yang tengah menghampiri saya.

Pada Tanggal yang Sama di Bulan September, Setahun yang Lalu

Dinding[1] akun media sosial saya begitu penuh warna laksana graffiti yang kerap dijumpai pada tembok-tembok di Ibukota. Notifikasi yang berdedikasi tinggi itu selalu melaksanakan tugasnya dengan baik. Menjadi mandor bagi mereka yang ‘berteman’ dengan saya untuk menghiasi dinding tersebut setahun sekali.

Pada saat yang sama, saya membebas tugaskan beliau. Bukan karena yang bersangkutan tak becus dalam menjalankan tugas. Saya sadar ‘teman-teman’ ini bukanlah anak kecil yang masih perlu disuruh-suruh untuk melakukan sesuatu. Mereka adalah manusia dewasa yang bebas memilih apa yang akan mereka lakukan dan tidak mereka lakukan. Kecakapan bernalar dan nurani mereka sudah cukup sebagai bekal untuk melandasi tindak tanduk mereka.

***

Kini, setahun telah berlalu. Notifikasi itu tak lagi unjuk gigi. Tanpa warna warni graffiti, dinding itu tampak putih bersih. Sepertinya, kegiatan menghias dinding akun media sosial saya tidaklah penting bagi ‘teman-teman’ ini.

***

Itulah yang tengah ditamparkan kebenaran ke pipi kanan saya. Dan seperti yang tertera pada sebuah kitab “… (apa pun) yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.” [2]

Maka saya merelakan pipi kiri saya untuk ditampar oleh kebenaran ihwal makna dari hubungan saya dengan ‘teman-teman’. Mereka adalah mantan kolega saya. Hubungan yang umumnya sangat eksternal dan terkungkung formalitas. Ada perasaan tidak etis yang menyergap jika mereka tak menorehkan sesuatu setelah notifikasi menjalankan tugasnya dengan baik. Namun, etika atau etiket yang mereka utamakan saat itu, saya tak ingin terlalu turut campur. Melihat kecenderungan hari ini sudahlah cukup.

Namun, kebenaran sepertinya tak puas hanya dengan menampar kedua pipi saya. Ia menjotos hidung saya dengan kenyataan bahwa setahun adalah waktu yang cukup lama. Cukup untuk merubah situasi hubungan saya dengan mereka untuk menjadi hambar. Tak heran, jika tak ada lagi rupa-rupa doa terpampang.

Gambar pemukiman bersalju adalah metafora dari rekoleksi dari yang getir tapi sarat maknaSedih? Pasti! Namun, bukankah ini saat yang tepat untuk instrospeksi diri?  Seperti yang telah saya paparkan pada bagian awal artikel, hari ini akan saya dedikasikan untuk diri saya sendiri. Memberikan ruang dan waktu bagi saya sepenuhnya. Bukan hanya untuk mengakomodasi egoisme diri, tetapi juga untuk menyelami lautan persepsi serta ragam emosi yang ada, namun tak pernah terjamah. Bagian diri yang tak terlalu cemerlang, tetapi tetap menjadi bagian dari saya. Sosok yang jauh dari sempurna.

Saya menikmati momen ini. Momen yang membuat saya sadar akan  posisi diri pada realita yang kian terasa maya. Terima kasih atas momen sederhana yang sarat makna ini, Tahun 2018! Semoga saya bisa menjadi lebih baik tanpa perlu kehilangan jati diri.

***

Jakarta, Januari 2019

Catatan Narablog: Artikel ini saya anggit dalam rangka 10 Kali Tantangan Menulis yang diadakan oleh Kata Hati Kita Production.

Save

[1] Lini masa

[2] Matius 5:39.

6 COMMENTS

  1. Bahwa hidup itu dinamis, pun hubungan akan selalu ada yang berubah karena manusia memang ada untuk itu. Bagaimanapun, yang penting adalah mengubah diri se diri dengan sekian introspeksi diri. Bahwa menadi lebih baik iu harapan murni orang-orang yang sadar diri.
    Lanjutkan itu, Mbak Maria.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here