Mencari Hukum

99
4621

Aku tak pernah tahu siapa hukum yang mereka maksud. Otakku yang masih berusia tujuh tahun hanya tahu hukum sebagai sebuah akibat jika aku melanggar peraturan. Para guru di sekolah dan orang tua biasanya akan menyebut kata hukum, dihukum, ataupun hukuman dengan suara yang lantang. Penuh kuasa.

Akan tetapi, hukum yang sering dibicarakan Bapak dan Biyung[1] beberapa bulan terakhir terkesan berbeda. Pertama kali Biyung menyebutkan namanya, suara Biyung begitu lemah, sementara Bapak selalu mengucapkannya dengan nada gusar. Namun, tanpa daya.

“Apalah arti kita di hadapan hukum yang saklek itu, Mas?” dari balik bilik dapur, suara Biyung terdengar semakin sayup. Terdesak kesiur angin kering dan gemuruh daun pepohonan yang bergoyang.

Bapak tak langsung menjawab. Ia malah mengisap kereteknya dalam-dalam, lalu mengembuskan gumpalan asap putih yang segera terbang menuju langit senja. Akan tetapi, kegeraman Bapak sepertinya masih tinggal.

“Tanah ini warisan keluarga, Sum. Hanya ini yang tersisa dari Mbah.”

Nyawanya hilang demi mempertahankan sawah-sawah keluarga kita di tempat lain. Sudah lupa kau dengan peristiwa itu? Bapakku pun harus terus dikejar aparat hukum demi mempertahankan sawah terakhir ini.”

“Eling, Mas,” nada bicara Biyung mulai meninggi, “Mas mau berakhir seperti Bapak dan Mbah? Ilham masih kecil, Mas. Dia butuh bapaknya. Apa Mas tega membiarkan dia merasakan getirnya hidup sebagai anak nara–?” tiba-tiba Biyung menghentikan ucapannya. Sepertinya, ada yang datang.

Aku bergegas membawakan dua gelas teh hangat untuk Bapak dan Biyung. Dugaanku benar. Dua orang laki-laki dewasa berjalan mendekati rumah kami. Salah satunya berbadan tegap dengan potongan rambut cepak. Sepatunya hitam mengilap. Apakah dia yang bernama hukum? Atau malah temannya yang gembul, berkepala botak, dan tengah memilin kumis itu yang bernama hukum?

“Bawakan dua lagi untuk tamu yang baru datang,” ujar Bapak. Aku menurut dan segera kembali ke dapur.

Biyung segera menyusulku. Wajahnya masih memendam kemarahan. Sinar matahari yang menyusup dari celah dinding anyaman menyoroti raut sayu dan mata kuyu Biyung.

“Biar Yung saja. Ini obrolan orang dewasa!”
Suara Biyung membuyarkan lamunanku. Sepasang tangannya yang sigap segera meraih dua gelas dari genggamanku dan meletakkan gelas-gelas berisi teh hangat itu di atas baki.

Aku terkesiap. Saat itu, aku jadi semakin ingin tahu seperti apa hukum itu. Mengapa hanya karena hukum, Biyung yang sabar bisa meninggikan suara? Mengapa hanya karena hukum, bapakku yang tegar kini terlihat gentar?

Perlahan-lahan, kulangkahkan kaki. Aku tak ingin gerak-gerikku menimbulkan bunyi apa pun. Kubuka telinga lebar-lebar agar seluruh percakapan mereka bisa kudengar.

“Semua ini demi kebaikan bersama, Pak Warsito. Nanti kalau pabriknya sudah jadi, Pak Warsito juga yang merasakan manfaatnya, toh?” kudengar si gembul berbicara kepada Bapak.

“Enak kepriye, Pak? Sekarang kalau saya dan keluarga mau makan, ya, tinggal metik dari tanah sendiri. Mau mandi dan minum, tinggal menimba dari sumur belakang rumah. Airnya masih bening. Bersih. Lha, seandainya lahan itu dijadikan pabrik, gimana saya mau makan? Butuh air bersih, harus jalan lima kilo dulu untuk mbeli. Air dekat sini pasti kotor karena buangan pabrik.”

Pemandangan hutan dalam perjalanan menuju sebuah danau di daerah Jawa
Udara segar dan tanah yang subur, mengapa kami dipaksa untuk mengorbankan semua itu demi kehidupan yang lebih baik?

“Ini sudah jadi ketentuan, Pak Warsito. Kalau Sampeyan masih memaksa untuk mempertahankan sawah, itu sama saja melawan hukum,” melalui lubang yang tersebar pada dinding gedek, aku bisa melihat raut wajah bapak yang memerah.

“Apa hati kalian masih berfungsi?”

Bapak bertanya sembari menunjukkan jari ke dada si gembul.

Biyung segera memegang lengan Bapak. Apalagi, kulihat Bapak sudah bangkit berdiri dan hendak bergerak mendekati si gembul. Seketika, aku menjauhi tempatku mencuri dengar pembicaraan mereka.

“Pak Warsito…” si cepak mulai berbicara. Suaranya rendah, tetapi penuh tekanan, “Saya dan Pak Jarwo hanya menjalankan tugas,” si cepak melanjutkan kalimatnya. Ah, pasti si cepak ini adalah hukum! Nada bicaranya penuh kuasa seperti para guru dan orang tua yang tengah menghukum anak-anak yang nakal.

“Kami juga ingin mengingatkan tentang status Saudara ini. Kami tahu siapa Saudara. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan!” kali ini nada suara si cepak seperti sedang mengancam Bapak.

Ucapan si cepak itu tak mendapatkan balasan sepatah kata pun dari Bapak. Hanya suara azan yang menyuruh mereka segera pergi.

“Coba Pak Warsito sembahyang terlebih dahulu. Bertawakal, Pak. Saya dan Pak Bimo mohon pamit,” ujar si gembul sebelum kedua orang itu akhirnya meninggalkan rumah kami.

Ternyata, tak satu pun dari mereka adalah hukum.
Namun sejak saat itu, nama hukum selalu disebut-sebut hampir di setiap waktu. Saat pagi sebelum Bapak dan Biyung pergi bertani, ketika mereka sedang beristirahat di dipan, bahkan saat tengah malam dalam igauan Bapak.

Nama hukum pernah beberapa kali Bapak sebut-sebut di dalam tidur, “Aku akan pergi mencari hukum. Ini tidak adil! Mereka tak bisa seenaknya mengambil sawah kami. Ini pencurian!” Bapak mengigau lagi pada suatu malam. Seperti yang sudah-sudah, aku biarkan saja Bapak dengan ceracaunya. Toh, Biyung juga akan menyuruhku kembali tidur jika aku mendekati mereka. Namun entah kenapa, malam itu aku tak bisa kembali tertidur. Kata-kata Bapak tentang sawah keluarga dan hukum yang katanya tidak adil, terus terngiang di kepala hingga azan Subuh berkumandang. Untuk pertama kalinya, aku bergadang.

Dan malam pertama aku bergadang itu adalah malam terakhirku bersama Bapak.

Pagi harinya, Bapak pamit meninggalkan aku dan Biyung. Bapak bilang, Bapak ingin mencari hukum. Aku hanya mengangguk meskipun aku masih tidak mengerti. Sawah yang dicuri, kok hukum yang dicari-cari.

Sejak kepergian Bapak, Biyung pergi menggarap sawah seorang diri. Pergi pada Senin pagi dan baru kembali setelah beberapa hari. Katanya, Biyung ingin sekalian melihat keadaan pabrik di desa seberang dan mencoba beberapa pekerjaan. Jaga-jaga kalau sawah kami diambil dan keluarga ini tak bisa menggantungkan hidup dari hasil sawah lagi.

Aku dibiarkan sendirian di rumah. Aku sungguh rindu Bapak dan Biyung. Walaupun aku sebenarnya sudah terbiasa sendiri, aku sulit tidur tanpa mendengarkan Biyung menembang atau Bapak bercerita. Sayang, aku tak pernah mampu berbagi rindu dengan siapa pun di kampung ini.

Orang-orang kampungku pernah mengatakan bahwa keluargaku adalah keluarga penjahat. Anak-anak dilarang orang tua mereka untuk bermain bersamaku. Katanya, aku ini musuh hukum. Bermain denganku berarti bermusuhan dengan hukum.

Yang berani berbicara kepada kami hanyalah Pak Yono, si Kepala Kampung. Ia pernah beberapa kali menyambangi orang tuaku di halaman. Suatu hari, Pak Yono datang mencari Biyung yang tak akan pulang sore itu. Kusampaikan tentang sepi dan rinduku kepada Pak Yono. Kudengar dari omongan orang-orang dewasa, salah satu pekerjaan kepala kampung adalah mendengarkan keluh kesah warga, termasuk anak-anak pastinya.

Sial! Dugaanku salah. Pak Yono malah memarahiku yang telah lancang menambah beban pekerjaannya, “Kamu sama saja dengan bapak dan kakekmu. Suka cari masalah dan tak tahu diuntung. Sudah bagus masih diizinkan bekerja menjadi kuli dalam pembangunan itu dan menjadi buruh pabrik, malah sok jagoan mau melawan hukum!” Pak Yono pun akhirnya pergi.

Aku semakin bingung.

Yang dilakukan Mbah dan Bapak hanyalah mempertahankan sawah keluarga. Apa yang salah dengan mempertahankan sawah? Di sekolah, aku pernah dengar kalau negara ini negara pertanian, tetapi kok mau menjadi petani saja sulit begini? Mbah malah mati ditembak karena ingin terus hidup sebagai petani di sawahnya sendiri. Sekarang, Bapak diancam karena menolak menyerahkan sawahnya untuk pembangunan pabrik, padahal lahan sawah sudah semakin sempit. Tetangga yang tadinya petani pun mulai bekerja menjadi kuli atau menjadi buruh pabrik. Benar juga kata Bapak, tanpa sawah, mau makan apa kita nanti?

Baca Juga: Secuil Kisah Di Mahameru

Aku juga semakin penasaran siapa sebenarnya hukum ini. Mengapa ia begitu menakutkan dan sepertinya sulit sekali bagi orang-orang desa seperti kami untuk berhubungan dengannya? Bapak pun harus pergi meninggalkanku dan Biyung agar dapat bertemu dengan hukum.

Aku juga sedih melihat Biyung yang harus berjuang sendiri menghidupi dirinya dan aku. Kadang di sela-sela kesibukannya, ia berpesan agar aku terus belajar dengan rajin supaya aku mampu melawan hukum.

Selama ini, aku hanya mengiakan semua perkataannya. Aku tak sanggup menambah garis kerut dan bercak hitam pada wajah Biyung yang tampak letih. Terlebih setelah Bapak pergi. Walaupun aku sendiri sebenarnya tak yakin apakah aku mampu menghadapi hukum. Bapakku yang begitu kuat melawan sengatan sinar matahari sepanjang tahun saja tak mampu melawan hukum. Apalagi aku yang hanya mampu bertahan beberapa jam terjerang panas matahari sebelum akhirnya aku tak sadarkan diri.

Aku bilang Bapak tak mampu melawan hukum karena pagi ini Bapak akhirnya tiba di rumah dengan sebuah keranda.

Di antara tangis Biyung dan riuh suara tetangga, kudengar bisik-bisik bahwa Bapak terkena peluru petugas hukum saat ia tengah memaksa untuk bertemu dengan hukum. Sementara sepasang mataku menangkap sosok Pak Yono, si cepak, dan si gembul tengah mengamati halaman rumah kami sambil tersenyum.

Jakarta, Juni 2018 – Juli 2019

***

Catatan Narablog: Cerita ini saya anggit dalam rangka penerapan ilmu yang saya dapatkan dari pelatihan menulis Kelas Cerpen Kompas yang diadakan oleh Harian Kompas.

[1] Biyung (bahasa Jawa) = ibu

99 COMMENTS

  1. akhh aku terhanyut. Sambil membayangkan seorang sahabatku yg memiliki cerita serupa tp tak sama. Namun pikiranku pun sama.. kenapa dinegara pertanian menjadi petani itu sulit. Apik banget mba

  2. Waah, cerpen kelas berat, cerpen serius nih, berkaitan dengan hukum dan impliksinya pada berbaga laapisan masyarakat ya mba. Aku sebenarnya suka nulis cerpen, akhir-akhir ini merasa kurang membaca, beulm PD lagi

  3. Duh ini pengalaman saya sendiri juga nih saat ini. Sawah depan rumah sudah diukur, hendak dibuat kavling. Kami tidak bisa bagaimana karena mereka lebih berkuasa.
    Saya jadi sering bertanya, lalu lahan pertanian ini tanggung jawab siapa ya?

    • Sebenarnya ini pertanyaan yang macam ayam sama telur. Banyak penduduk yang tinggal di daerah terpencil kan nggak punya surat-surat, a. Namun, leluhur mereka sudah lama di situ, terus tiba-tiba negara datang mengklaim itu milik negara. Bingung, kan?!

  4. sedihnya.. walaupun misalnya pelanggar hukum, tetap sebenarnya setiap warga itu berhak mendapatkan penghidupan yang layak kan, ya. Setidaknya kebutuhan primer terpenuhi. Kalau mendapatkan air bersih saja sulit? Ah…

    • Sebenarnya ini kasusyang macam ayam sama telur. Gak ada ujungnya… Banyak penduduk yang tinggal di daerah terpencil kan nggak punya surat-surat, a. Namun, leluhur mereka sudah lama di situ, terus tiba-tiba negara datang mengklaim itu milik negara. Bingung, kan?!

  5. sedihnya.. walaupun misalnya pelanggar hukum, tetap sebenarnya setiap warga itu berhak mendapatkan penghidupan yang layak kan, ya. Setidaknya kebutuhan primer terpenuhi. Kalau mendapatkan air bersih saja sulit? Ah…

  6. Ide ceritanya umum, namun dituturkan dengan cara yang sangat menyentuh, pilihan kata yang terjaga dan logika yang pas oleh Kak Maria. Keren bangetlah kak. Lalu, dimana kita mencari ‘hukum’ , kak?

  7. Cerpen dibarengi dengan foto2 real jadi terasa semakin nyata. Kuasa dan hukum, merampas hak orang2 yang berhak. Aah sedih akutuh bacanya, ngesek. Apalagi cerita ini bukan hal yg ga biasa, tapi biasa banget terjadi. 😢

  8. Aaaak aku sedih! eh tapi sawahnya itu memang sah milik si bapak atau gimana? ah lagi-lagi sah secara hukum atau gak. Si anak bingunglah siapa sih “hukum” itu sampai membuat keluarganya menderita 🙁

  9. Pak Yono sama aja dengan 2 orang itu ya ternyata. Walaupun ini fiksi cerita macam ini di kehidupan real ada mbak. Orang-orang yang mempertahankan miliknya malah jadi korban kekerasan

    • Sebenarnya ini pertanyaan yang macam ayam sama telur. Banyak penduduk yang tinggal di daerah terpencil kan nggak punya surat-surat, a. Namun, leluhur mereka sudah lama di situ, terus tiba-tiba negara datang mengklaim itu milik negara. Bingung, kan?!

  10. Cerita yang keren sekali Mbak. Idenya sederhanan saja tentang hukum tapi dikemas begitu menarik, sampai-sampai larut membacanya dari kalimat awal hingga akhir. Btw pesannya juga nangkep banget. Menyoroti keadaan yang bahkan sampai sekarang pun masih ada ya. Nasib kaum kecil., gampang tertindas oleh yang namanya hukum.

  11. Wah, aku kebawa emosi banget nih bacanya. Malahan jadi ikutan sedih, kenapa bapak pulang dengan keranda? Hiks. Mbok yah dibikin hepi ending aja toh mbak *anaknya suka maksa pengen semua bahagia hehe*

  12. i want more….
    aku suka, cerpen yang kaya gini mbaaa. lanjutin lagi dong mbaaa. apalagi temanya hukum. serius lho, aku kok jarang baca cerpen atau karya sastra yang punya tema hukum ya. makanya jadi suka baca cerpenmu ini hehe

  13. karena pembangunan, hal-hal seperti ini memang seringkali terjadi. kadang dengan cara yang benar, kadang dengan cara yang terasa tida benar. perlu banyak certa2 seperti ini untuk menyadarkan orang lain.

  14. Kok sedih ya 🙁
    Aku jd keinget banyak sawah di area dekte rumahku dulu skrng berganti jd perumahan, entah dibeli berapa. Emang sedih sih, padahal negeri ini terutama tanah Jawa kan subur banget, sayang udah mulai abis…

  15. Saya sempat menyangka ini kisah nyata lho, Mbak. Mungkin karena ikut terhanyut saat membacanya. Tetapi, di dunia nyata pun memang dunia pertanian semakin miris kayaknya. Lahan-lahan semakin sempit karena tergusur oleh pembangunan sana-sini

  16. Waduh, aku jadi keingetan sama talk show yang beberapa waktu lalu aku hadiri. AgriTalk gitu. Ngomongin soal petani. Miris ya keadaan kita. Negara agraris tapi pertanian semakin sedikit. Padahal, sektor agraris ini penyumbang kedua GDP negara kita. Dan di luar negeri, produk pertanian kita ini sangat potensial. 🙁

  17. Masih selalu terpana baca tulisan Kak Maria. Koq bisa menulis cerpen dari ide sederhana yang memang terjadi dalam kehidupan di Indonesia ini. Fiksi yang nampak nyata sekali ya, tentang hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Ga sabar nunggu cerita lainnya.

  18. Waaaah… Deg” an banget waktu baca keranda… Susah juga ya, sekarang semua bisa dibeli dengan uang, yang tidak memiliki kekuasaan bisa apa:'(

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here