Puisi-puisi dalam buku Relikui Jarak menyuarakan isi hati setiap manusia dengan apik, sekaligus memperkaya kosa kata dan pengetahuan pembacanya dengan cara yang menyenangkan.
Judul | : | Relikui Jarak |
Penulis | : | Arco Transept |
Penerbit | : | Basa Basi |
Cetakan | : | Cetakan Pertama, April 2019 |
Tebal | : | 116 halaman; 14x20cm |
ISBN | : | 978-602-5783-97-5 |

Menulis adalah terapi.
Sepertinya kalimat itu sudah tak asing lagi di benak kita semua. Banyak dari penulis, sebut saja Bamby Cahyadi, Kang Maman, dan Ayu Utami, menganggap menulis adalah bagian dari terapi bagi diri mereka sendiri. Sebuah karya pun lahir dari tangan andal mereka seperti Restoran Cepat Saji, Re:, dan Trilogi Parasit Lajang yang meninggalkan jejak pemikiran para penulisnya di benak pembaca.
Lalu, bagaimana menuliskan isi hati secara estetis? Alih-alih karya yang membekas di benak pembaca, karya malah menjadi racauan belaka. Saya jadi treingat komentar salah satu penyair pada sebuah ajang menulis daring, Katahati. “Tolong bedakan antara puisi dan racauan Instagram.” Penyair tersebut bernama Arco Transept. Karya terbarunya, Relikui Jarak, yang terbit dua tahun lalu baru saja saya lahap habis dalam kurun waktu dua hari.
Apakah kumpulan puisi dalam buku ini berhasil live up to Arco’s words? Baca terus artikel ini, ya.
Relikui Jarak: No Distance between Old and New

Dalam buku yang berisi lebih dari 100 puisi ini, Arco tak sungkan untuk berkolaborasi dengan bahasa lama dan kekinian.
Dalam puisi Akhir Pekan, Arco berhasil menyandingkan kata “tongsis” dan Instagram menjadi sebuah puisi yang kritis nan estetis, sementara LDR menyuarakan rindu yang tak berujung saat harus terpisah oleh rentang jarak dan waktu.
“kita tahu rindu itu bernama hujan
Menyerang saat musim LDR tiba.” – Musim LDR (2017)
Knowledge Warehouse is the Key
Gudang pengetahuan adalah kunci ketika menganggit karya apapun, termasuk puisi. Senja dan keindahan alam tak melulu menjadi sumber inspirasi bagi penyair ketika meracik puisi-puisinnya.
Perkara konflik rumah tangga seperti tangis bayi pun ia rengkuh menjadi sebuah puisi yang menyentuh. Bahkan, ia menggugat status stagnan dalam sebuah karya puisi.
“Apakah kita tak bisa menulis kesepian dengan bahasa baru;
Dari erangan istri yang datang bulan,
Dari tangis bayi yang minta susu,
Dari keresahan upah yang tertunda.” – Sajak Bujang (2017)
Baca juga: Seni Membangun Cerita
Logan, tokoh fiksional dalam cerita pahlawan super Marvel, pun tak luput dari sumber inspirasi untuk menyuarakan kehampaan.
“Dia tak bisa menyentuh ingatan tentang perempuan yang pernah menjadi cahaya dalam sunyian…
Hanya ada aroma adamantium yang tak lagi mencium darah,..” – Logan (2017)
Puisi Bukan Sekadar Permainan Bunyi
Setelah membaca beberapa puisi dalam Relikui Jarak, saya tersadar: Puisi lebih dari sekadar permainan kata dan rima. Puisi adalah salah satu kanal untuk menambah wawasan dengan cara yang lebih menyenangkan.
Saya teringat mengenyit saat membaca kata Po-lin-fong pada puisi Kita, Luka Duka Kota. Po-lin-fong adalah sebutan untuk kota Palembang pada abad-abad lampau. Ini kali pertama saya mengetahui tentang Po-lin-Fong. Salah satu cukilan sejarah kampung halaman Arco menjadi media untuk menyuarakan kegelisahan akan sejarah negeri yang mulai tergerus arus modernisasi. Warga yang tinggal pun rentan kehilangan jati diri.
“Aku kian asing di kota ini
Seperti Po-lin-fong tersamar…
Sejarah adalah luka
yang mengobati dirinya sendiri
dan kita adalah mata pisau
yang membuat luka duka baru.” – Kita, Luka Duka Kota (2017)
Bahkan, bagi teman-teman yang belum sepenuhnya sadar ketika Tragedi 1998 terjadi, Aroma Hio (2017) dan Kamar Kosong (2018) bisa menjadi perkenalan singkat akan kerusuhan berbasis ras yang tak pernah tuntas dibahas.
Baca Juga: Tafsir
Waktu berlalu. Zaman berubah. Sejarah berulang. Manusia lupa. Penyair menulis.

Sebab ingatan takpernah berlangsung lama.
Relikui Jarak adalah kumpulan puisi Arco kedua yang saya baca. Di Dera Deru Kedai Kuala adalah buku pertama Arco yang terbit dua tahun lalu, berisi tentang kegelisahan yang sama. Kegelisahan Arco akan kampung halaman dan negeri yang mulai kehilangan ke-orisinalannya. Untungnya, Arco tak pernah hilang asa dalam mempekerjakan daya kreatifnya untuk terus mengingatkan kita akan sejarah yang begitu beragam, bahkan kelam. Kedua buku tesebut juga menyuarakan kerinduan Arco untuk menemukan tempat pulang setelah sekian lama melanglang buana di Ibukota dan Daerah Istimewa. Dua kota yang tak luput dari arus perubahan zaman.
Namun kepiawaian Arco dalam meramu kata, gudang pengetahuan Arco yang luas, dan keterbukaan diri penyair akan kebaruan dalam menganggit puisi berhasilkan melahirkan beratus-ratus karya yang segar. Sebagai pembaca saya tak pernah disergap rasa bosan membaca kata demi kata yang mengalir dengan lincah pada setiap lembar karya Arco.
Saya selalu menanti karya-karya Arco, penyair yang kerap merasa terasing dan gemar memeluk sepi di kota-kota yang ia singgahi.
Tentang Penyair

Arco Transept, lahir 15 September 1984. Berdarah Jawa dan Sunda. Freelancer sebagai Editor. Puisinya pernah terbit di surat kabar dan online. Setelah itu puisinya pernah dicetak di beberapa buku antologi puisi bersama seperti “Akulah Damai” (BNPT, 2017), Antologi Puisi Indonesia 2017 (Badan Bahasa, 2017), dll. Buku puisinya Protokol Hujan (Indiebook Corner, 2016), dan Didera Deru Kedai Kuala (Tareshi Publisher, 2017). Aktif sebagai salah satu redaksi di jurnal sastra online lokometoeks.com.
Sumber: Relikui Jarak, 2019.
ih bagus2 puisinya, walau estetik tapi tetap mudah di pahami, biasanya puisi tuh bikin mumet karena nggak paham maksud tersiratnya 😀
Puisi kak Arco ini memang menggugah walau dengan bahasa yang ringan, Kak.
Aku akhir-akhir ini lagi demen baca puisi mbak
Jadi kepos ama buku yang ditulis mas Arco, dari namanya aja udah unik gitu
apalagi isi bukunya ya.
Selamat membaca, Kak
Puisinya dalam banget maknanya ya mbak…jadi ikut merasakan kehidupan masyarakat pinggiran…. saya suka banget baca puisi ciptaan para pujangga atau sastrawan meski butuh waktu untuk mencerna artinya.
Puisi karya Arco jujur, maknanya dalem tanpa bikin pembaca puyeng lama-lama, Kak. Sangat kurekomendasikan buat yang ingin berkenalan dengan puisi.
Bagus puisinya, dan jadi sadar pula nih kalau aku da lama banget ga baca – baca buku puisi padahal dulu zaman SMA suka sama puisi dan novel.
Semoga bisa kembali menggauli fiksi ya, Kak; dalam bentuk novel maupun puisi.
Salut untuk Arco yang menelurkan buku puisi dengan balutan kata-kata yang kekinian tapi tetap memiliki makna yang dalam, pastinya Arco ini seorang penyair yang memiliki pendalaman kata dan makna
No doubt kalo Arco penyair yang sangat berpotensi di masa yang kini.
Suka baca puisi yang seperti ini, aku juga kalau menulis puisi sering terinsipirasi dengan diksi2 yang para penyair gunakan. Butuh suasana dan renungan khusus kalau aku nulis seperti ini hehe….
Happy writing, Kakak.
Sudah lama ngga baca syair yang dalam dan penuh renungan mba. Senaaang deh dengan gaya syair Mas Arco ini, He’s one of a kind yaa
He is indeed one of a kind, Kak.
*Puisi bukan sekedar bunyi*, wah ini benar sekali mba…
Karena puisi dalam sekali maknanya dan bikin mikir mencernanya. Seperti ada rasa yang tersembunyi dalam setiap bait kata. Sukaaa mba..
Thank you, Kakak.
kalau menulis puisi atau menikmati puisi yang pandai itu adikku, aku banyak belajar dari dia.
Keknya bisa kukasih tahu dia nih
Please kasih tau adiknya, Kak. Sayang banget kalau sampai kelewatan puisi bagus kayak gini.
Bahagia banget bisa membaca buku kumpulin puisi.
Terkadang, jiwa membutuhkan kata yang sedikit tapi bermakna dalam.
Dan menyerahkan sepenuhnya interpretasi kepada pembaca.
Benar banget, Kak. Baca puisi-puisi Arco nggak merasa terdikte gitu.
Lebih suka pusi yang begini, maknanya bisa sampai ke pembaca. Kan ada tuh pusi dengan bahasa puitis yyangsusah dipahami
I feel you, Kakak.
“kita tahu rindu itu bernama hujan, menyerang saat musim LDR tiba.”
related banget :’)
Happy LDR
Keren abis
orang yang puitis apakan akan puitis juga di tempat tongkrongan?