Lembaran Rindu dalam Secangkir Kenangan

85
5064

Kenangan yang membawaku kembali ke tempat ini, sebuah kafetaria yang masih menyimpan kontradiksi yang sama setelah tiga tahun berselang.

Pijar lampunya yang kekuningan, sangat ampuh  meredam gejolak amarah jiwa-jiwa yang terbakar cuaca. Namun, denting gelas dan piring yang tengah ditata seakan berdengking kepada siapa pun untuk bergegas. Belum terdengar obrolan pengunjung sama sekali. Ini belum genap pukul tujuh pagi.

“Sudah lama nggak kemari, Mbak. Bapaknya juga,” ujar pelayan itu sembari meletakkan cangkir berisi cairan hitam pekat pesananku.

“Sibuk, Mbak’e,” jawabku yang tengah sibuk membenahi laptop.

“Bapaknya nanti nyusul?” Aku hanya mengangguk pelan. Menggigit bibirku.

Bapak… Tentunya bukan ayahku yang ia tanyakan. Namun, tentang sosok laki-laki dengan siapa aku kerap berbagi pagi di tempat ini. Ditemani secangkir kopi hitam dan bacaan pilihan. Sosok yang selama tiga tahun terakhir telah lenyap dari keseharianku, akan tetapi tetap melekat dalam benak. Sosok laki-laki kedua setelah ayah yang mampu menumbuhkan rindu hingga menuntunku kembali ke sini. Mengenang dirinya dan menuliskan kisah tentangnya.

Sebastian namanya. Sesungguhnya, tak ada yang istimewa dari penampilan laki-laki ini. Tubuhnya gempal setelah dua puluh tahun melahap pengalaman hidup di Amerika. Wajahnya gembil lantaran gemar menyerap informasi yang disuguhkan media. Cetak maupun digital. Namun, ragam pengalaman dan luasnya wawasan tak menjamin perjalanan yang mulus dalam beradaptasi di kantor baru, tempatku bekerja hingga tiga tahun lalu.

Dahulu, tubuh gempal dan wajah gembilnya kerap kutemui di kafetaria ini. Bersembunyi di balik secangkir kopi dan koran pagi. Sepasang matanya tampak asyik menelusuri rangkaian berita yang tersaji, sembari sesekali menyeruput cairan hitam hangat di hadapannya. Berharap larutan itu mampu menggerus endapan amarah dan keresahan karena ia tak kunjung mendapatkan laporan yang dibutuhkan nanti untuk rapat tengah tahun, termasuk sales report dari timku.

Pada suatu pagi, aku pernah bertaruh dengan diriku sendiri. Endapan itu akan bertambah tebal lagi hari itu. Sebuah pesan WhatsApp kuterima.

“Sebel banget sama Sebastian! Tanpa basa-basi minta dibikinin sales report dengan detil ini itu. Sudah stres sama macet dan daily report yang telat, tambah lagi e-mail dari dia. Dia pikir dia siapa?! Bos pun bukan!”

Aku tak membalas WhatsApp dari Marie, rekanku. Aku segera mengemasi barang-barangku, meninggalkan kafetaria ini dan menuju meja kerjaku.

Aku belum sempat mendaratkan tubuhku di kursi ketika kudengar ocehan Marie. Kali ini, kekesalan telah membuat ucapannya tak tentu arah.

“Orang ini ngeselin banget. Suka seenaknya main suruh. Kemarin di rapat bulanan juga malah bengong pas diajak bicara sama Ibu Boss. Aneh!”

“Memang dia minta data tambahan apa? Sales report itu kan sudah menjadi laporan bulanan kita.” tanyaku.

“Dia minta per cabang!”

“Kan tinggal ditambahin filter cabang, lalu jalanin ulang macro-nya.”

“Ya, tapi kan bisa ngomong baik-baik.”

Aku masih bisa melihat raut wajah Marie yang manyun. Sepertinya dia kesal lantaran aku lebih membela warga baru itu daripada mengindahkan keluhannya. Syukurlah tak sampai lima belas menit kemudian, surel dari Marie yang berisi laporan itu akhirnya datang juga dan nama Sebastian ada sebagai penerima.

Sepertinya aku baru saja kalah dalam taruhanku sendiri.

Aku tidak membelanya karena aku keburu jatuh hati kepada Sebastian. Tidak saat itu. Tak mudah bagiku—dan sepertinya bagi siapa pun—untuk jatuh pada sosok tambun berwajah manyun seperti dirinya. Sebenarnya, aku juga merasa kurang nyaman dengan kecenderungan basa-basi di kantor ini. Lebih terasa basinya daripada ramahnya. Pertanyaan yang dilontarkan biasanya tak jauh dari urusan pribadi seperti “Udah nikah?”, “Umur berapa?”, “Kok udah umur segitu belum nikah?”. Informasi yang didapat akan menjadi bahan bergunjing. Konon, atasanku melontarkan salah satu pertanyaan itu kepada Sebastian saat rapat yang disinggung Marie kemarin.

Ketidaknyamanan inilah yang membuatku lebih memilih untuk tenggelam dalam hiruk-pikuk kafetaria ini. Mencari ketenangan di tengah riuh barang pecah belah yang tengah ditata. Mungkin hal serupa juga yang telah menyebabkan Sebastian menikmati ritual pagi di tempat ini.

***

Kali pertama kami berbicara sebenarnya terjadi sehari setelah ocehan Marie di pagi itu.

Thanks for the report,” ucapnya. Aku terperangah mendapati ia tengah berdiri di hadapanku.

Don’t thank me, thank my team. Batinku menjawab. Namun, aku tak memiliki nyali untuk mengoreksi ucapannya. Tubuh gempal dengan wajah gembil itu masih penuh dengan endapan amarah dan keresahan. Dugaanku, ia masih belum menerima laporan lainnya dari berbagai departemen.

“Sama-sama. Nanti bilang saja yah kalau ada yang masih perlu diklarifikasi,” ujarku berbasa-basi.

Ia akhirnya tersenyum. Sedikit dipaksakan kurasa. Tak mudah memang mengukir senyum di tengah tekanan dan ekspektasi atasan saat seseorang tengah menjadi warga baru di sebuah perusahaan. Apalagi, ketika rekan kerja enggan untuk membantu. Resah, ingin marah, dan lelah bercampur membentuk endapan yang bisa tumpah sewaktu-waktu. Dan timku sempat menjadi salah satu unsur endapan itu.

Aku masih mendapati Sebastian berdiri di hadapanku. Tak ada tanda-tanda bahwa ia akan beranjak ataupun berkata-kata. Aku menatapnya dengan canggung. Sementara di dalam kepalaku, aku sibuk memutar otak untuk mencari kata-kata selanjutnya. Kembali kepada bacaanku bukanlah pilihan. Tak sopan.

“Duduk saja,” tiba-tiba dua kata itu meluncur dari mulutku. Kini aku mati kutu. Terlepas dari banyaknya pengetahuan yang telah ia serap, wajah gembil ini sepertinya sangat hemat dalam berkata-kata. Lima menit berselang setelah ia duduk di hadapanku, hanya dua patah kata terucap: ‘terima’ dan ‘kasih’ saat pelayan kafetaria ini mengantarkan pesanannya.

Aku masih berusaha memeras otak yang telah lama kering terpanggang terik matahari pagi tadi. Berusaha mencari topik pembicaraan. Sama sepertinya, aku pernah lama menetap di Amerika. “Sudah kawin?”, dan “Umur berapa?” sudah pasti bukan pilihan. Namun, membicarakan isu Pilpres yang mulai marak saat ini juga bukan keputusan yang bijak.

“Laporan dari tim lain sudah dapat?” Aku rasa pertanyaan itu cukup aman.

Aku mendengar desahan napas Sebastian. Dugaanku benar. Ia menjelaskan bahwa dirinya mengalami kesulitan untuk mendapatkan laporan yang diperlukan. Surel yang ia kirimkan tak kunjung mendapat jawaban. Sibuk dan masih banyak pekerjaan rutin adalah alasan yang sering dilontarkan ketika ia menghampiri pihak terkait.

Hang in there, Bas. Semua memang sedang sibuk. Hampir semua tim bekerja lembur beberapa minggu terakhir,” jelasku seperlunya.

Akan tetapi pada hari-hari berikutnya, aku malah mendapati Sebastian semakin antusias bertanya tentang status permintaannya, bertanya lebih detil tentang laporan yang telah ia terima, dan kembali melakukan analisa.

Aku sendiri juga terkena imbas. Ia menjadi sering menghampiriku di kafetaria ini dan bertanya tentang sales report yang Marie kirimkan serta manajemen informasi kantor kami.

Kesal lantaran ritual pagiku terganggu, aku sengaja bertanya tentang pengalamannya di Amerika. Ternyata kami pernah tinggal di kota yang sama dan kerap mengunjungi toko buku yang sama.

“Koleksi buku lamanya lengkap,” ujarnya.

“Pernah ketemu buku apa di sana?”

The Grapes of Wrath.”

Wajah gembil itu juga gemar menyerap sejarah dunia rupanya, batinku.

“John Steinbeck?” tanyaku singkat.

Seuntai senyum kembali terlukis di wajahnya. Kali ini, tanpa kesan dipaksakan. Sepertinya kopi hitam pagi itu berhasil menggerus sedikit endapan resah dan amarah dari dirinya. Timku adalah salah satu unsur yang berhasil tergerus dari endapan itu.

Sayangnya keceriaan ini tak bertahan lama. Selang beberapa hari, raut wajah itu kembali muram. Rapat tengah tahun tinggal dalam hitungan hari, tetapi hasil analisanya belum selesai lantaran banyak departemen lain yang menunggak laporan yang ia minta. Lagi-lagi karena alasan yang sama.

Aku sebenarnya sudah mengetahui hal ini. Banyak dari rekanku yang mengeluhkan kekakuan Sebastian dalam berinteraksi. Marie bahkan sempat mengatakan bahwa ia merasa dianggap robot yang bisa disuruh dan ditanya ini itu olehnya.

“Saya sudah nggak tahu lagi harus bagaimana,” ujar Sebastian lemah.

Lagi-lagi, aku dibuat grogi. Separuh diriku mulai jatuh kasihan kepada sosok tak berdaya yang tengah duduk di hadapanku ini. Namun, otakku sudah tak mampu lagi meneteskan gagasan apa pun untuk menyegarkan suasana. Menjelang rapat tengah tahun, seluruh jajaran perusahaan memang tengah bekerja lebih keras dan lebih lama. Aku dan Marie bahkan sempat pulang lewat tengah malam.

“Sabar ya. Sebelum memberondong dengan permintaan, ajak ngobrol dulu saja sebentar. Biar nggak pada stres memikirkan kerjaan terus. Di U.S. juga sama kan. Setidaknya, ‘How was the train ride today?’ atau ‘Have you read the news today?’”

“Itu dia. Di sana basa-basinya nggak menyinggung sesuatu yang personal. Paling seputar berita di koran atau perjalanan. Di sini obrolannya cuma seputar orang lain dan kemacetan tiap pagi.”

“Ini menyindir timku yah?”

Ia terperanjat. Menatapku tajam. Aku harus siap menerima luapan endapan itu kapan saja.

“Dan saya sempet bingung harus bagaimana waktu bosmu bertanya saya sudah nikah belum. Apa hubungannya dengan kerjaan coba?”

Aku biasanya enggan untuk mendengarkan keluh kesah rekan sekantor seperti ini. Apalagi jika terkait atasanku sendiri. Tak etis. Lagipula, menurut observasiku, empati di kantor hanya meninggalkanku dengan setumpuk pekerjaan dan sedikit waktu. Menit-menit yang terbuang untuk mendengarkan keluh kesah mereka tak mungkin bisa kupungut kembali.

Namun, di balik wajah gembilnya, aku menemukan sepasang mata yang menyiratkan keputus asaan. Bola matanya nampak tegang membendung luapan endapan yang tak mampu lagi ia tampung.

“Jangan samakan negara kita dengan Amerika, Bas. Mereka sudah merdeka hampir dua setengah abad dan kebebasan bersuara sangat diutamakan. Jadi, wajar jika rakyatnya menjadi peduli dan kritis terhadap pemerintahan dan sekitarnya. Topik pembicaraan pun jadi beragam. Indonesia beda.”

“Rezim Orba sudah lama lengser, Laras.”

Allow ourselves sometimes, Bas. Belum seabad negara kita merdeka dan hampir sebagian besar dari masa kemerdekaannya, kebebasan bersuara dibungkam. Bahkan dari era Bung Karno sekalipun.”

“Serius?”

“Aku pernah baca di Catatan Seorang Demonstran, Bas. Catatan pribadi Soe Hok Gie. Di sana Gie pernah menyinggung tentang pidato Bung Karno pada saat pembukaan jurusan publisistik UI. Isi pidatonya ‘nih bahwa tugas pers adalah menggambarkan cita-cita yang muluk kepada rakyat supaya nafsu yang baik dari rakyat berkobar kembali. Seolah hendak dikatakan Presiden, tugas pers ialah meninabobokkan rakyat. Media yang bertentangan dengan pemerintahan akan dicabut izin usahanya. Rezim boleh berganti, tetapi keadaan tak kunjung membaik,”

Aku berharap menyinggung sejarah Indonesia mampu membuat penggemar sejarah dunia ini maklum tentang keadaan Tanah Air.

You’re right, Ras. Pemberedelan, pencekalan dan penculikan sering terjadi kepada pihak yang kritis terhadap pemerintahan semasa Orde Baru.”

Baca juga: CBSA – Celoteh Bunda untuk Sang Anak

“Jadi, wajar jika sebagian besar warga mengambil jalan aman, Bas. Memilih topik seputar aktivitas sehari-hari atau ranah pribadi sepertinya menjadi jalan alternatif agar mereka dan segenap kerabat nggak ada yang diculik. Betapa selama ini, sadar atau tidak, nalar kritis bangsa terpaksa dibiarkan mati suri. Saat warga sudah diberi kebebasan, euforia berlebihan. Opininya lebih cenderung subyektif dan negatif. Hoax bertebaran untuk menjatuhkan oposisi. Terasa banget setiap kali ada pemilu. Seperti saat Pilkada lalu, dan menjelang Pilpres saat ini. Kebebasan sudah kebablasan, Bas. Akhirnya warga saling bermusuhan.”

“Dan untuk mencegah permusuhan, mereka kembali membahas masalah pribadi. Lagi.” Sebastian menyelesaikan ucapanku dengan nada skeptis.

It ain’t no sin and it ain’t no virtue. It’s just stuff people do to stay safe[1].” Aku sengaja mengutip Steinbeck.

Allow yourself sometimes, Bas. Dirimu sudah lama jauh dari sini. Menjelma orang asing di negeri sendiri,” ucapku sok puitis.

“Mau ngutip siapa lagi nih? A.A. Navis atau Goenawan Mohamad?” Ia bertanya dengan nada bercanda. Sepertinya mengutip sejarah adalah strategi yang jitu.

Aku ingin sekali memulai topik baru tentang sastra Indonesia yang selalu lekat dalam diriku. Namun, arlojiku menunjukkan hampir pukul delapan pagi. Obrolan ini harus segera kami akhiri. Rapat tengah tahun telah menanti.

***

Semenjak itu, berbincang dengannya sembari menikmati secangkir kopi hitam dan bacaan pilihan menjadi rutinitas yang kami lakukan hampir di setiap pagi. Apalagi setelah rapat tengah tahun itu berakhir. Endapan yang sepertinya telah sirna, membuat Sebastian semakin cerkas dalam mengaitkan berita terkini dan peristiwa masa lampau. Menyuguhkan obrolan gurih yang memberikan energi tersendiri. Energi yang telah lama pergi seiring wafatnya Ayah beberapa tahun silam.

Ayah, cinta pertamaku. Sosok pertama yang telah membuatku jatuh cinta pada karya sastra Indonesia yang rajin menyelipkan episode kelam negeri ini. Sosok pertama yang mengajarkanku untuk peduli pada apa pun ihwal bangsa ini, terutama sejarahnya. “Supaya kamu nggak merasa asing di negeri sendiri. Dan yang paling penting agar sejarah kelam ndak harus berulang,” begitu nasihat ayah.

“Berat, Yah!” protesku saat itu.

Witing trisno jalaran seko kulino, Nak. Mengko kowe yo kulino moco wacan koyo bapakmu iki.” Ayah berusaha meyakinkanku.

Witing trisno jalaran seko kulino. Cinta ada karena terbiasa. Pepatah lama itu kembali menyergapku dalam rupa yang sedikit berbeda. Rasa kagumku kepada Sebastian berkembang menjadi sesuatu yang lain. Rasa yang kerap aku hindari karena aku tak ingin kecewa jika sosok serupa Ayah ini beranjak pergi. Aku masih ingat bagaimana kuliahku terancam putus selepas kepergian Ayah. Konsentrasiku terganggu.

Perlahan aku mulai menjauhkan diri darinya. Saat kesempatan untuk menjadi Finance Department Head di kantor baru mengetuk, aku segera menyambutnya. Keputusanku itu memang berhasil melenyapkan Sebastian dari segenap panca indra. Namun, serupa bangsa yang tengah dilanda euforia akan kebebasan bersuara, rasa itu tak mudah untuk kusuruh kembali diam. Apalagi saat basa-basi di kantor baru hanya seputar urusan pribadi. Keadaan seperti ini justru semakin membuatku merindukannya dan obrolan gurih kami.

Saat kerinduan ini tak mampu kubendung lagi, aku sadar aku harus menumpahkannya. Menuliskan sebuah fiksi adalah caraku untuk bisa jujur terhadap perasaanku sendiri. Yah, menulis fiksi untuk bersikap jujur. Ironis memang. Seironis diriku yang menemukan ketenangan di antara riuh kafetaria yang kontrakdiktif ini. Seironis diriku yang telah jatuh hati pada sosok tambun berwajah manyun itu.

Aku bermaksud untuk memulai paragraf pertamaku ketika seseorang menepuk sisi atas layar laptopku. Aku terperangah. Tak percaya saat melihat siapa yang sedang duduk di hadapanku. Dia yang selama ini hanya bisa kurindukan dan kurasakan kehadirannya dalam setiap mimpi. Dia yang telah memenuhi relung pikiranku bertahun-tahun terakhir. Lelaki dan kenangan tentangnya yang sedang aku coba luapkan ke dalam cerita yang tengah kucoba tuliskan. Ia kini berada tepat di hadapanku.

“Apa kabar?” Ia bertanya. Aku bisa merasakan rahangku yang mendadak kaku. Berusaha membendung luapan rindu. Tak mampu menjawab pertanyaan ramah-tamah, yang lumrah diucapkan seseorang pada lawan bicara yang telah lama terpisah oleh rentang jarak dan waktu.

I miss you,” kalimat itu terlontar dari mulutku tanpa basa-basi. Segera kukembalikan perhatianku pada laptop di hadapanku.

Dari sudut mata, aku bisa melihat setumpuk undangan membayang pada permukaan kopi pesananku. Nama Sebastian dan seorang wanita tercantum di sudut kiri atas undangan tersebut. Kelopak mataku tiba-tiba menegang menahan genangan air yang perlahan-lahan mulai jatuh membasahi laptopku. Aku ingin segera meninggalkan kafetaria ini.

Jakarta, Juli 2017 – Juli 2018

***

[1] Dari novel John Steinbeck, The Grapes of Wrath: There ain’t no sin and there ain’t no virtue. There’s just stuff people do.

Save

Save

85 COMMENTS

  1. Ini based on true story?

    Terlepas dari itu, Aku suka banget sama tulisan ini. Bukan hanya sekedar romance, tapi juga ada unsur sejarah, kantor. Asik banget. Dari tulisan ini, aku yakin penulis banyak baca terlihat dari diksi yang berima. Keren euy. Kalau sudah launching novelnya kabarin yaa kaa. Aku siap jadi pembeli pertama 😍

  2. Duh paragraf akhirnya membuat aku ikutan sedih juga 😢 di saat mau melupakan malah hadir kembali dengan membawa rasa kecewa. Aahh suka banget sama ceritanya, membuat aku terhanyut sama cerita.

    Ini ada lanjutannya kah, kak?

  3. Why so sad, Kak? Seriusan ini bikin sedih banget. Kalo ini beneran true story, its gonna be one thing to remember yah, Kak. Suka tiap detail ceritanya, specially that cute coffee picture, You nailed it, Kak.

    • Why so sad? Because sadness is part of our life, Kak. I just want to highlight it. =)

      Thanks for stopping by and taking time to read the story, ya Kak.

  4. Dalam keseharian, kita sering kali mendengar kisah ini. Tapi kenangan, penantian dan kesedihan_di akhir cerita- dituturkan dengan ‘indah’ di tangan Kak Maria. Jadi, pengen ketemu dan belajar nulis cerpen dengan Kak Maria atuh.

  5. Aku terhenyak, kok sakit bacanya ya. kebayang banget sih, baper aku tuh kak bacanya, gimana ini? teman yang selalu ada, selalu bisa jadi yang paling pas dan tetiba harus pergi karena pernikahan, ahhh

  6. That’s life! Susah sedih yang dirasakan manusia pada akhirnya hanya menjadi secangkir kenangan. Keputusan kita untuk terus menyeruputnya walaupun tak pernah habis, atau membiarkannya hanya tergeletak di atas meja.

    • Keputusan kita untuk terus menyeruputnya walaupun tak pernah habis, atau membiarkannya hanya tergeletak di atas meja (hingga kenangan menjelma sia-sia).

      Thank you for stopping by, Kak.

  7. “Aku sebenarnya sudah mengetahui hal ini. Banyak dari rekanku yang mengeluhkan kekakuan Sebastian dalam berinteraksi. Marie bahkan sempat mengatakan bahwa ia merasa dianggap robot yang bisa disuruh dan ditanya ini itu olehnya.”

    Untuk yang lama di luar negeri (apalagi sampai 20 tahun) pasti terkena “shock culture”. Orang Asia pada dasarnya suka berbasa basi. Mungkin berbeda dengan orang Amerika sana yang cenderung to the point.

    BTW, undangan pernikahan yang tiba-tiba memang selalu bikin kaget, apalagi jika berasal dari orang yang spesial.

    • Culture Shock memang tak terhindarkan, Mas. Apalagi jika dalam 20 tahun tersebut kita jarang terkoneksi dengan budaya Indonesia. Kebiasaan “to the point” itu sudah menjadi watak dalam diri kita. Untuk mengubahnya, tidaklah mudah.

  8. Sebenernya endingnya udah bisa kebaca karena saya termasuk penikmat drama romance. Tapi yang uniknya, untuk mendapatkan ending yang menyayat hati, tiap paragrafnya benar-benar digambarkan secara detail (ini yang saya suka dari tulisan Kak Maria). Salut! Keep it up kak.

  9. Aku kagum sama tulisannya Kak. Kalo enggak karena riset yang detail pasti karena Kak Maria memang pembaca buku yang banyak..luas banget nih pengetahuannya..dan jadi modal buat cerita yang apik.

  10. Sedihnya. Tapi mau gimana? Kalau bukan jodoh ya mesti pasrah. Tinggal yg ditinggal nikah buat ambil hikmah dan move on. Jodohnya udah nunggu di depan hehe

  11. Endingnya bikin nyesek. Kenapa juga sih dia ngasih undangan langsung, ya? Eh, namanya juga cerita, ya. Bisa apa aja. Btw aku jadi kangen nulis fiksi. Baca ini enak banget. Bisa kebawa perasaan.

  12. Wah wah wah, aku suka banget sih ceritanya. Keren bgt. Bukan cerita romance biasa. Ngangkat soal sejarah sama Sastra juga. Keren ihhh. Bacanya bener2 sampe abis dan ga ngebosenin 🙂

  13. Setiap membaca cerita Kak Maria saya selalu merasa salut. Bukan hanya penggunaan kata dan kalimat yang cerdas, namun secara aturan kebahasaan pun bisa dibilang mulus tanpa cela. Di cerita ini aku mengerti rasanya jatuh hati pada seseorang gempal berwajah manyun #ehh.

  14. Baguuus kaak.. rapi sekali cara bertuturnya.. walaupun ketebak akhirnya akan sedih.. tapi kok pas bacanya tetep baper.. haha.. suka sama gaya bercerita kakak

  15. Cerita kak Maria selalu membawa cerita keseharian yang sarat tentang rasa dan cinta. Sudut pandangnya pun selalu menarik. Terimakasih sudah berbagi

  16. Aku tuh baca cerita ini rasanyaaa…. pernah di posisi itu juga beb..
    Tapi dari baca cerita kamu dan lihat semua komen di atas…

    SEMANGAT terusss yaa darling.. tulisan kamu bagusss bangettt.. loph

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here