Bukan Perawan Maria

35
4401

Nama saya Maria, laksana nama seorang perawan yang melahirkan anak Allah ke dunia. Namun, saya bukan perawan. Saya pernah tidur dengan beberapa pria.

Saya memang melakukannya di luar ikatan suci. Tanpa restu Sang Ilahi. Sejujurnya, saya tidak meromantisisme keperawanan dan cinta. Pengalaman pertama saya tidak melibatkan seseorang yang saya cinta.

Ibu Pertiwi yang tak pernah lelah menghidupi anak-anaknya

Bagi saya persetubuhan adalah bentuk pemberdayaan diri. Persetubuhan menghidupkan kembali kenangan akan pegunungan yang menghasilkan air kehidupan. Persetubuhan membangkitkan ingatan akan kehangatan kawah tempat anak manusia pernah ditempa hingga siap menghadapi dunia. Persetubuhan melahirkan pemahaman bahwa ada yang adi pada tubuh perempuan.

Sayang! Sepertinya Ayah tak paham tentang hal ini saat ia meninggalkan Ibu. Ia pergi begitu saja demi wanita yang lebih muda tanpa barut kelahiran. Janji suci penuh cinta kasih yang pernah Ayah ucapkan kepada Ibu telah menjelma  sumpah serapah Ayah dan tetes air mata Ibu.

Itulah pemahaman yang telah terpatri dalam benak saya tentang hubungan asmara dan pernikahan. Sungguh, saya tak ingin terlibat di dalamnya. Saya sibukkan diri dengan setumpuk ambisi. Menjadi juara kelas semasa sekolah dan meraih gelar summa cum laude semasa kuliah. Kini, saya tengah asyik mendaki gunung-gunung nan tinggi dan puncak tertinggi tangga korporasi.

Sebagai pendaki saya paham, pada posisi yang lebih tinggi persediaan udara cenderung menipis. Hembusan angin pun begitu gesit. Setumpuk pekerjaan kantor telah menyita hampir seluruh waktu saya. Tak banyak waktu tersisa untuk beristirahat apalagi sekedar berkencan. Kalaupun ada, pria yang sedang saya kencani akan perlahan menghilang, untuk digantikan oleh pria lain yang akhirnya pergi juga tak lama kemudian.

Gunjingan rekan sekantor pun mulai berhembus. Sebagian dari mereka mengira kalau saya hanya belum menemukan pasangan yang cocok. Bahkan, ada juga yang justru merasa iba. “Dia hanya korban perceraian orang tua,” gumam salah seorang rekan saat saya melintas di belakang meja kerjanya.

Akan tetapi, saya malah lebih serinng berganti pria daripada tas wanita. Jadi, tak jarang juga yang mengecap saya sebagai wanita sundal yang gemar tidur dengan pria yang tak hendak saya nikahi.

Saya abaikan semua itu. Tujuan saya hanya satu: mampu hidup tanpa bergantung secara finansial kepada siapa pun, apalagi kepada suami. Saya tak ingin mengulang masa lalu Ibu. Melepaskan kemapanan demi mengurus suami. Saat Ayah berpaling, Ibu harus bekerja hingga larut hanya untuk menyambung hidup. Bagi saya, hidup masih berlanjut tanpa bersuami, akan tetapi tidak demikian jika tak berduit.

Untuk sekian lama saya berhasil berpegang teguh pada prinsip itu. Namun saat sosok itu datang, sesuatu menyergap saya. Dan saya hanya bisa gelagapan.

***

Namanya Ruben. Tempat duduk kami yang saling berhadapan satu sama lain, memaksa kami untuk saling berbincang. Awalnya, pembicaraan kami hanya seputar isu yang memenuhi headline berita.

Ketika kampanye pemilihan presiden sedang berlangsung, kami sangat getol membahas isu terkait peristiwa itu. Meragukan janji-janji salah satu kandidat yang sempat melakuan pelanggaran HAM pada beberapa orde silam. Saat hasil perhitungan suara diumumkan, cara kandidat tersebut menunjukkan kekecewaannya dinilai tak lapang dada. Hal itu pun menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan.

“Sekarang, orang berlomba untuk terlihat penting. Bukan cuma pejabat, tetapi juga anak kantor,” ucap saya yang memang sedang lelah dengan gosip yang beredar.

“Padahal menjadi orang baik lebih penting,” balasnya.

“Ebet Kadarusman?”

“Tau Salam Canda juga? Memang udah lahir?” Ia bertanya sembari sedikit mengejek. Saya hanya tertawa.

“Jadi kangen acara itu. Menyoroti kehidupan orang-orang yang memang berjasa menolong warga sekitarnya. Secara tak langsung menginspirasi penonton untuk berbuat hal serupa. Tak seperti acara belakangan ini yang hanya seputar gosip kehidupan pribadi artis yang tak jauh dari pamer barang branded dan mobil keren. Seolah hal itu adalah penting,” ujarnya.

Saya tak pernah menyangka bahwa sosok yang terkenal pendiam ini sedang berbicara panjang lebar. Saya pun hanya membalas ucapannya dengan singkat, “Jaman sudah edan.”

“Seedan gagasan Bapak’e yang sempat berniat rujuk (dengan mantan istrinya) supaya dianngap layak menjabat Presiden. Nggak habis pikir aku, Mar. Demi menjadi Presiden, istri atau mantan istri pun dijadikan alat. Dia mungkin nggak memiliki anak perempuan. Jadi, tak perlu takut kualat kalau kejadian serupa menimpa anak perempuannya, tapi setidaknya dia punya anak dan ibu. Apakah itu pandangannya terhadap perempuan yang telah melahirkan dia atau anaknya?”

Saya menatap Ruben lekat. Tak mampu berkata-kata. Perlahan, saya mulai mengagumi jalan pemikirannya.

Sejak itu kami menjadi lebih sering bercakap-cakap. Bahkan, pembicaraan kami berlanjut hingga sesi makan malam yang terus berulang. Kami pun mulai berbagi pengalaman. Ternyata kami memiliki zodiak yang sama, Virgo.

Baca juga: The Vi(r)gorous Duo

Kebanyakan Virgo memang cenderung pendiam di awal perkenalan. Seperti Ruben. Namun, seorang Virgo akan membuka diri saat sudah merasa nyaman dengan lawan bicaranya. Seperti saat itu, ketika ia mulai bercerita tentang rasa kagum dan hormat kepada ibunya yang telah membesarkan Ruben seorang diri setelah kepergian mendiang suami.

“Apakah itu pandangannya terhadap perempuan yang telah melahirkan dia atau anaknya?” Ucapan Ruben kembali terngiang di antara telinga.

“Makan,” suaranya membuyarkan lamunan. Ia tengah menyendok makanan ke piring saya. Seketika, ada sesuatu yang berdesir dalam diri saya. Sesuatu yang menyuguhkan rasa teduh, tetapi juga menghadirkan ngilu. Saya hanya bisa membisu hampir di sepanjang sisa malam, sementara ia masih mengisi keheningan dengan menyanjung ibunya.

“Ini mamaku,” ujarnya sembari menunjukkan foto ibunya yang menurut hemat saya mengingatkan saya akan Carrie Fisher versi Indonesia.

“Mamamu anggun seperti pemeran Princess Leia. Pantes kamu sayang banget. Andaikan mamamu tak secantik itu, rasa sayangmu akan tetap sama?” Ia tersedak mendengar ucapan saya.

“Jangan samakan aku dengan papamu, Mar.”

“Aku serius penasaran, Ben. Kalau misalnya setelah melahirkan nanti istrimu nggak selangsing dulu. Kamu masih akan setia?”

Saya bisa merasakan sorot matanya yang tajam tengah menghujam saya.

“Aku bukan papamu, Mar. Justru kamu yang mulai menjadi seperti papamu!” Saya tak begitu paham maksud ucapannya. Saya bahkan tak ingat pernah menceritakan tentang Ayah kepadanya. Yang saya tahu dengan pasti, kalimat yang diucapkan dengan nada tinggi itu mengakhiri pertemuan dan kedekatan kami.

***

Saya memang sengaja mencibir ucapannya. Keakraban ini sejujurnya mulai meresahkan. Saya tak ingin terperosok ke dalam jurang yang sama jika suatu saat Ruben memutuskan untuk pergi. Maka saya berusaha lari dari perasaan yang ganjil ini. Mencibir ucapan Ruben adalah langkah awal saya sebelum akhirnya saya pindah ke kantor baru.

Strategi semacam itu memang berhasil menjauhkan Ruben dari saya, tetapi dirinya tak pernah benar-benar hilang dari daftar pemikiran. Saya tak mampu menghapusnya, sekalipun benak saya telah penuh oleh ingatan akan masa lalu dan pekerjaan di kantor baru.

Jangan terbawa emosi. Jangan sampai mengulang masa lalu Ibu, saya membatin.

Kedua pernyataan itu tengah asyik berseteru ketika sebuah pesan Whatsapp saya terima. Tak disangka nasib mujur masih sedikit memihak saya. Seorang kawan mengajak saya untuk mengunjungi Gunung Papandayan pada akhir pekan. Tanpa berpikir panjang, saya menerima ajakannya.

Saya memang ingin melarikan diri sesaat. Jauh dari sosok yang belakangan ini meresahkan hati dan pikiran. Jauh dari hiruk pikuk kehidupan urban yang sarat kenangan kelam dan gunjingan orang sekitar.

***

Sungguh kontras dengan suasana di Papandayan. Selama pendakian, kehangatan sinar matahari senantiasa menyertai kami. Guratan sinarnya yang tengah menerpa dinding kawah, memijarkan kilau keemasan yang memesona mata. Angin lembah yang sejuk dengan sabar membasuh peluh. Sesekali, suara letupan terdengar. Memaparkan rindu akan Ruben yang masih tersimpan.

Gas Sulfatara yang terbentuk di Kawah Papandayan

Saya mendekati tempat letupan itu berasal. Sebuah kawah terbentang laksana rahim tempat jabang bayi pernah menetap. Beberapa ceruk mengeluarkan gas sulfatara yang bermanfaat untuk kesehatan diri dan keperluan industri. Kepulan gas itu serupa tali pusar yang menjaga kelangsungan hidup janin. Betapa adi dan wigati sesungguhnya tubuh perempuan ini.

Namun, Ayah tak pernah menyadarinya. Pemahamannya akan tubuh perempuan terhalang kabut egoisme yang hanya mementingkan kepuasannya sendiri.

Seperti suasana pendakian ini. Kawanan kabut perlahan menutupi pemandangan kawah. Lembaran kelabu itu menyuguhkan cuplikan saat Ayah berjalan meninggalkan kami sembari memeluk mesra wanita itu. Sementara lembaran lain menghadirkan tatapan Ruben yang tengah menghujam saya.

Ruben benar. Saya menjelma seperti Ayah dan kandidat presiden yang telah menyia-nyiakan dan memperalat pasangannya.

Kebiasaan saya berganti pasangan adalah wujud dari egoisme pribadi saya. Masa lalu dan penderitaan Ibu saya jadikan dalih untuk memusatkan hidup pada kenyamanan materi dan kepuasan syahwat semata, tanpa mengacuhkan perasaan mereka yang tengah dekat dengan saya. Bahkan saat Ruben memasuki kehidupan saya, ia juga harus mencicipi pahitnya masa silam itu. Simpati berubah menjadi celaan, seperti yang telah saya lakukan kepadanya pada pertemuan terakhir kami.

Kasih yang saya rasakan terhadap Ruben akhirnya tertutup oleh sikap saya yang sangat egois. Saya tak mau menanggung susah dan sedih kalau cinta ternyata tak terbalaskan atau Ruben beranjak pergi. Ironisnya, ia sungguh telah beranjak pergi. Saya yang mengusirnya. Dan keakraban yang telah terjalin pun kini menjelma nisan. Seperti hamparan batang cantigi yang memenuhi kawasan Hutan Mati di hadapan saya ini.

Baca juga: Meniti Jejak Alexa di Anjani

Saya pernah membaca tentang Hutan Mati dari artikel yang tersebar online. Sejarah terbentuknya sungguh suram. Letusan Gunung Papandayan telah membakar habis sejumlah desa dan menewaskan ribuan jiwa. Menyisakan ratusan batang pohon cantigi yang nampak gersang, namun tetap kokoh menjulang. Alat penopang bagi para pendaki saat lelah menghadang.

Batang cantigi yang kokoh di kompleks Hutan Mati

Saya tengah bersandar pada salah satu batang cantigi ketika perasaan kerdil menghampiri. Sungguh, saya ini adalah makhluk yang sangat lemah. Tak seperti batang cantigi yang kuat ataupun Ibu yang begitu tegar dalam menghadapi bala asmara dan kehidupan. Jangankan untuk berterus terang kepada sosok yang saya cinta, menghubunginya saja kini saya segan. Kasih itu telah terkubur pada liang terdalam kenangan. Meninggalkan hinaan pada seseorang yang paling saya kasihi.

***

Tak terasa matahari akan segera beranjak. Saya bergegas menuju ke perkemahan. Merebahkan tubuh agar kepala sejajar dengan hati. Merasakan hembusan angin gunung yang mendengungkan isi hati yang masih mengasihi Ruben, sosok yang telah menyembuhkan kelumpuhan hati nurani dan membuka cakrawala pikiran. Bukan dengan kemanjaan berahi, tetapi dengan kemapanan pandangan dan chivalry.

Semoga saya belum terlambat untuk belajar mengasihi. Saya ingin segera kembali. Mengutarakan isi hati.

Jakarta, November 2016 – Oktober 2018

***

Save

Save

Save

Save

35 COMMENTS

  1. Duh papandayan.. 😅
    Tumben nih, tokoh utama pake nama yg sama dengan penulisnya. Tapi entah kenapa hampir semua tokoh utama yg diciptakan oleh penulis memiliki karakter yg hampir identik.. 😁

    • Saya cukup mahfum kalo nama itu sangan memantik, Kak Den. Sejatinya saya seorang penulis bukan pengarang, Kak Den. Jadi kalo tokohnya mirip-mirip, mungkin karena keseharian yang banyak mempertemukan saya dengan tokoh yang demikian.

  2. Digendong di Papandayan… sing..
    Hits banget lagu pacar-pacaran habis trip Papandayan 5.. Kangen gimana gitu sama kenangan kala itu.. Gokil ga jelas

  3. Ga ada kata terlambat, klo kata pepatah lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali hhe, keren ka critanya, ku yg baca jdi terbawa suasana dlm crita

  4. Ada yang datang dan pergi itu soal biasa. Ibarat klub bola yang kedatangan seorang pemain bintang, tapi beberapa tahun kemudian ditinggal oleh pemain bintang tersebut. Suatu saat akan ada orang yang bisa memenangkan hati…

  5. Tadinya mikir kenapa tulisan ini pakai foto papandayan. Haha. Ternyata ada scene papandayannya.

    “Ruben benar. Saya menjelma seperti Ayah dan kandidat presiden yang telah menyia-nyiakan dan memperalat pasangannya”

    Kadang2 kita perlu orang lain buat menyadarkan kita. Gapaham lagi aku suka banget kalimat diatas. Keren kak maria

  6. Saya seperti dibawa jauh menyelami pikiran Maria…
    Alur yang mengalir ringan tapi dalam. Karakter tokoh yang terbangun lewat dialog. Tema cerita yang menyentuh dan dibiarkan di akhir dengan sebuah keputusan yang happy ending meski masih mengambang..
    Bagus bangets..
    Saya tunggu kisah-kisah selanjutnya y Kak 🙂

  7. Salam kenal, Mbak Maria. Cerpennya indah. Alur dan suasana yang dibangun membawa saya sebagai pembaca untuk menjelajahi keindahan rangkaian kata. Ini karya sastra yang layak diacungi jempol karena mengedepankan rasa dengan psikologi manusia urban masa kini berikut benturan peradaban yang terjadi. Sesuatu yang membuat saya merasa harus belajar banyak dari Mbak tentang pemilihan diksi.
    Salam kenal. senang bisa baca karya ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here