Gie: Trilogi Narasi

65
3649

Pemandangan Taman Prasasti tempat Soe Hok Gie dimakamkan

Minggu Pagi Gie

Minggu pagi ini aku bangun di dalam bungkusan kain. Aroma tanah basah menabrak indra penciuman dan gelap gulita menyergap penglihatan. Kupejamkan mata. Mencoba mengingat serangkaian peristiwa yang membawaku ke tempat ini.

Pemandangan dari pemakaman Gie

Aku hanya ingin merayakan ulang tahun yang ke 27 di Semeru. “Titip janda-janda gue di Jakarta ya,” ujarku kepada Rudy sebelum pergi. Tawanya pecah. Karibku ini tahu aku selalu sial dengan gadis-gadis. Ayah mereka tak pernah mengizinkan mereka berhubungan denganku. Para bapak takut anak perempuannya akan lekas menjadi janda jika bersuamikan orang yang berani menentang pemerintah sepertiku.

12 Desember 1969, aku berangkat dari Gambir.

Melewati Istana Presiden yang putih bersih. Akan tetapi, jangan terlena dengan warna suci itu. Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu. Janji kemanusiaan yang luhur, yang menjangkau kepada demokrasi dan keadilan sosial, hanya berujung pada tragedi. Yang Mulia hanya gemar berpesta pora dengan istri-istrinya, sementara jutaan rakyat melarat. Aku jadi teringat pada pemakan kulit mangga yang kujumpai dua kilometer dari istana. Ah, alangkah bangga hati telah memberikan Rp. 2,50 padanya. Padahal aku cuma punya Rp. 2,65 saja.

Baca juga: Secuil Kisah Di Mahameru

Cukup lama aku merenung. Saat tersadar, langit telah hitam lesu. Aku dan rombongan pun sudah tiba di Malang. Kami segera bersiap. Mengurus administrasi dan mulai mendaki. Aku tak terlalu ingat dengan rinci perjalanan. Hanya hujan yang terus-menerus dan kabut kelabu.

Bahkan hingga sehari menjelang ulang tahunku, 16 Desember, cuaca masih buruk. Namun, pendakian berlanjut. Saat kami tengah melakukan perjalanan ke puncak, aku mendengar suara petir bergemuruh disusul dengan reruntuhan batu pasir. Angin yang berderu deru membawa aroma busuk yang menyusahkanku bernapas.

Untuk beberapa saat aku bertahan sebelum akhirnya aku kehilangan pandangan. Semuannya gelap. Saat kesadaranku kembali, aku sudah berada di sini, di balik balutan kain ini. Apa yang telah terjadi? Tahun berapakah ini? Karena sayup-sayup kudengar suara perempuan cekikikan berkata, “Aku rela berdansa sembari memeluk tiang listrik. Asalkan diiringi musik dangdut.”

***

Sebuah Reuni

Statu malaikat yang terdapat pada tempat pemakaman GiePada sore yang mendung, aku bersujud di atas batu nisanku. Padahal, yang kuinginkan hanyalah menapakkan kaki di Mahameru. Aku segera bersimpuh sambil menunggu kedatangan teman-temanku.

“Itu si pembunuh,” terdengar suara seorang yang sepertinya stranger itu.

Herman oh Herman. Kau datang menjengukku rupa-rupanya.

Herman, karibku. Yang sudah risking your life dan memberikan pernapasan buatan pada detik-detik terakhirku. Enak sekali mereka menuduhmu.

Baca juga: Mencari Hukum

Sepertinya benar yang pernah dibilang filsuf Yunani itu yah, Man. Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Lihatlah dirimu yang sudah penuh dengan uban. Tergopoh dengan tongkat menuju makam. Bahkan hingga kaki-kakimu patah dan stroke menghantam, mereka masih mempersalahkan dirimu yang gagal menyelamatkanku dan Idhan. Edan memang, tapi nggak usah diambil pusing, Man.

Oh iya, hadiah Lebaran-Natal buat orang-orang DPR-GR kemarin gimana? Segala lipstick, cermin, jarum dan benang sudah sampai ke dia orang? Mewah ya, hidup mereka. Aku penasaran seandainya saat itu aku memutuskan untuk menerima lamaran mereka, untuk menjadi anggota Dewan, bagaimana nasibku sekarang, ya? Apakah aku akan berhenti gelisah dan urung pergi mendaki Semeru? Apakah jasadku akan terbaring di bawah situ?

Man, kok sendirian? Pada kemana Katoppo, Rudy, dan Abdurachman? Kok mereka nggak datang? Kalian semua masih pada akur, kan? Yuk kita ngobrol di sekitaran makam. Aku kangen.

***

Iman dan Pengharapan Seorang Pahlawan

Statu malaikat yang terdapat pada tempat pemakaman GieIman, pengharapan dan kasih. Menurut Paulus, iman adalah yang utama karena mengarahkan kita kepada Tuhan. Sementara dua yang terakhir hanya membawa manusia pada kesempurnaan diri.

Namun, Prof. Beerling pernah mengatakan seseorang hanya dapat hidup selama masih punya harapan-harapan.

Apakah ini penyebab kematianku?

Aku pergi di tengah kegelisahan karena rekan-rekan yang dulu berjuang bersamaku akhirnya terbuai oleh kemewahan. Dapat cicilan ringan dan aneka tunjangan, sementara banyak tanah rakyat dirampas di daerah-daerah.

Baca juga: Lembaran Rindu dalam Secangkir Kenangan

Lagi-lagi, aku kembali terperosok pada lingkaran kekecewaan yang sama. Dan harus berjuang seorang diri.

Yah, aku pernah dengar sayup-sayup, di antara kegelapan dan ketidaksadaran, abangku Arif berkata, “kamu tidak sendirian (memperjuangkan semua ini).”

Tapi sampai kapan tragedi ini harus berulang? Karena setelah hampir 50 tahun aku berpulang, keadaan masih tetap sama. Kebebasan bersuara dibungkam, UU ITE diberlakukan, dan ah… perempuan masih sangat memusingkan baju dan kecantikan.

Mungkin aku bukan pahlawan seperti yang selalu kalian kenang-kenangkan. Aku masih butuh harapan dan mendamba kesempurnaan. Kesempurnaan demokrasi.

Saat aku merasa pesimis dan tanpa harapan, semangat perjuanganku padam. Jasadku kini terbaring di bawah batu nisan, sementara jiwaku tertunduk meredam kegelisahan.

 

Jakarta, Januari 2018 – Juli 2019

***

65 COMMENTS

    • Saya ayakin Gie tidak sendiri dengan kegelisahannya ini.
      Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk membaca artikel ini, Kak.

  1. Aku nggak kenal Gie.. tapi dia dikenang dan jadi bahan obrolan sejak filmnya membooming kala itu tapi sayang aku bukan penikmatnya. Entahlah!

    So far, tulisan Maria selalu bikin penasaran endingnya mau dieksekusi seperti apa. Dan lagi.. selalu memiliki cara untuk bikin tulisan enak dinikmati, membaca sambil berpikir, menahan nafas, lalu bertanya sendiri.. apa seh maunya? (aku yah..)

    Tapi keren!

    Salam

  2. Aku cenderung menyebut ini tulisan bukan cerita, karena tulisan ini begitu nyata menggambarkan perasaan seorang Gie.
    Semoga suatu saat apa yang Gie cita citakan dapat terwujud. Karena Gie tdk sendirian, banyak jiwa yang juga mendambakan itu semua.

  3. Meski tidak tahu banyak tentang Gie, cerita
    di atas bikin merinding aku dibuat kak Maria. Ini termasuk cerpen atau bagaimana kak? Diksi nya ringkas, padat, tapi variatif banget sih kakanyaa…😍

    • Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca blogpost saya, Kak Ndari. Cerpen atau apapun itu, yang penting Kakak menikmatinya. =)

  4. Awalnya aku mikir, ini lagi nulis sinopsis sebuah novel atau… ah baca lagi deh sampe habis. Terhanyut sama pembawaannya.. dan… wah ini tulisan kak maria.
    Apik banget banget banget! Seakan yang sedang bicara adalah jasad soe hok gie yg kini sedang beristirahat dengan masih menyisakan keresahannya terhadap para penguasa.

    • Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca artikel ini, Kak Kartini. Semoga kerehan-keresahan yang hening ini bisa terdengar sampai kepada kaum penguasa.

  5. Dari awal sampe akhir aku masih bingung, ini cerita tentang apa. Cuma pesan tentang isu-isu yang sudah jadi keresahan dari dulu hingga sekarang bisa tersampaikan dengan baik. Semoga next aku lebih paham lagi ya kak Mar… Hahahaa… keren sihh ini, trilogi tiga kisah, kalo aku ga slah mengartikan. Hehehe. Ditunggu kegelisahan selanjutnya kak…

  6. Kak Maria tetaplah menulis dengan alur yang smart ya. Memanjakan pembacanya dengan logika utuh dan penuh empati. Jika saat ini Gie ‘menjadi’ trilogi ‘narasi’, mungkin nanti Gie menjadi trilogi ‘narasumber sejati’.

  7. Tulisannya kak maria bikin saya ingin membacanya berulang-ulang kali, keren banget sih bisa mengisahkan Gie yang ternyata jasadnya yang berada dibawah batu nisan itu.

  8. anak muda yang identik dengan kecintaannya pada tuhan yg dia jewantahkan dengan cinta alam, cinta kalam. anak muda yg identik dengan kebebasan. anak muda yang tak suka dengan ketimpangan. gie.

    btw dari mana ide menulisnya?

  9. Kukira Kak Maria menulis cerpen tentang Gie, eh ternyata bukan. Makin dibaca makin kuhayati pilihan katanya, seperti biasa selalu membuat aku kagum. Suka banget paragraf pembuka iman dan pengharapam seorang pahlawan

  10. Keren banget kak tulisannya… dari kmrn aku pantengin blognya pemilihan kata dan kalimatnya juga epic.. mantap kaka

  11. Ada satu hal yang menarik di artikel Gie : Trilogi Narasi, yaitu Herman yang dicap pembunuh walaupun sudah memberikan bantuannya. Hal yang kadang benar terjadi di dunia nyata.

  12. Selalu suka cara kak maria nulis cerita.. tiap baca selalu menunggu akan dijadikan seperti apa endingnya..
    Terus ya kok sedih sama si herman.. padahal dia yang nyelametin malah dituduh membunuh.. tapi hal2 kayak gitu banyak di dunia nyata

  13. Keren ka Maria, selalu punya makna yg mendalam, belum pernah mencari tahu banyak ttg sosok Gie tp di artikel ini ak bisa tau semangat perjuangannya besar sekali. Btw ka yg terkait iman, pengharapan, kasih, seingetku Paulus bilang yg terbesar adalah kasih, cmiiw.

  14. Ini contoh cara nyinyir yang jenius. Aku suka banget sama tulisanmu yang ini kak.

    Betul, Gie memang tak sendiri dan masih banyak orang” seperti Gie.

    Kamu referensi bacaannya apa kak, tulisannya bagus” soalnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here