Minggu Pagi Gie
Minggu pagi ini aku bangun di dalam bungkusan kain. Aroma tanah basah menabrak indra penciuman dan gelap gulita menyergap penglihatan. Kupejamkan mata. Mencoba mengingat serangkaian peristiwa yang membawaku ke tempat ini.
Aku hanya ingin merayakan ulang tahun yang ke 27 di Semeru. “Titip janda-janda gue di Jakarta ya,” ujarku kepada Rudy sebelum pergi. Tawanya pecah. Karibku ini tahu aku selalu sial dengan gadis-gadis. Ayah mereka tak pernah mengizinkan mereka berhubungan denganku. Para bapak takut anak perempuannya akan lekas menjadi janda jika bersuamikan orang yang berani menentang pemerintah sepertiku.
12 Desember 1969, aku berangkat dari Gambir.
Melewati Istana Presiden yang putih bersih. Akan tetapi, jangan terlena dengan warna suci itu. Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu. Janji kemanusiaan yang luhur, yang menjangkau kepada demokrasi dan keadilan sosial, hanya berujung pada tragedi. Yang Mulia hanya gemar berpesta pora dengan istri-istrinya, sementara jutaan rakyat melarat. Aku jadi teringat pada pemakan kulit mangga yang kujumpai dua kilometer dari istana. Ah, alangkah bangga hati telah memberikan Rp. 2,50 padanya. Padahal aku cuma punya Rp. 2,65 saja.
Baca juga: Secuil Kisah Di Mahameru
Cukup lama aku merenung. Saat tersadar, langit telah hitam lesu. Aku dan rombongan pun sudah tiba di Malang. Kami segera bersiap. Mengurus administrasi dan mulai mendaki. Aku tak terlalu ingat dengan rinci perjalanan. Hanya hujan yang terus-menerus dan kabut kelabu.
Bahkan hingga sehari menjelang ulang tahunku, 16 Desember, cuaca masih buruk. Namun, pendakian berlanjut. Saat kami tengah melakukan perjalanan ke puncak, aku mendengar suara petir bergemuruh disusul dengan reruntuhan batu pasir. Angin yang berderu deru membawa aroma busuk yang menyusahkanku bernapas.
Untuk beberapa saat aku bertahan sebelum akhirnya aku kehilangan pandangan. Semuannya gelap. Saat kesadaranku kembali, aku sudah berada di sini, di balik balutan kain ini. Apa yang telah terjadi? Tahun berapakah ini? Karena sayup-sayup kudengar suara perempuan cekikikan berkata, “Aku rela berdansa sembari memeluk tiang listrik. Asalkan diiringi musik dangdut.”
***
Sebuah Reuni
Pada sore yang mendung, aku bersujud di atas batu nisanku. Padahal, yang kuinginkan hanyalah menapakkan kaki di Mahameru. Aku segera bersimpuh sambil menunggu kedatangan teman-temanku.
“Itu si pembunuh,” terdengar suara seorang yang sepertinya stranger itu.
Herman oh Herman. Kau datang menjengukku rupa-rupanya.
Herman, karibku. Yang sudah risking your life dan memberikan pernapasan buatan pada detik-detik terakhirku. Enak sekali mereka menuduhmu.
Baca juga: Mencari Hukum
Sepertinya benar yang pernah dibilang filsuf Yunani itu yah, Man. Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tetapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Lihatlah dirimu yang sudah penuh dengan uban. Tergopoh dengan tongkat menuju makam. Bahkan hingga kaki-kakimu patah dan stroke menghantam, mereka masih mempersalahkan dirimu yang gagal menyelamatkanku dan Idhan. Edan memang, tapi nggak usah diambil pusing, Man.
Oh iya, hadiah Lebaran-Natal buat orang-orang DPR-GR kemarin gimana? Segala lipstick, cermin, jarum dan benang sudah sampai ke dia orang? Mewah ya, hidup mereka. Aku penasaran seandainya saat itu aku memutuskan untuk menerima lamaran mereka, untuk menjadi anggota Dewan, bagaimana nasibku sekarang, ya? Apakah aku akan berhenti gelisah dan urung pergi mendaki Semeru? Apakah jasadku akan terbaring di bawah situ?
Man, kok sendirian? Pada kemana Katoppo, Rudy, dan Abdurachman? Kok mereka nggak datang? Kalian semua masih pada akur, kan? Yuk kita ngobrol di sekitaran makam. Aku kangen.
***
Iman dan Pengharapan Seorang Pahlawan
Iman, pengharapan dan kasih. Menurut Paulus, iman adalah yang utama karena mengarahkan kita kepada Tuhan. Sementara dua yang terakhir hanya membawa manusia pada kesempurnaan diri.
Namun, Prof. Beerling pernah mengatakan seseorang hanya dapat hidup selama masih punya harapan-harapan.
Apakah ini penyebab kematianku?
Aku pergi di tengah kegelisahan karena rekan-rekan yang dulu berjuang bersamaku akhirnya terbuai oleh kemewahan. Dapat cicilan ringan dan aneka tunjangan, sementara banyak tanah rakyat dirampas di daerah-daerah.
Baca juga: Lembaran Rindu dalam Secangkir Kenangan
Lagi-lagi, aku kembali terperosok pada lingkaran kekecewaan yang sama. Dan harus berjuang seorang diri.
Yah, aku pernah dengar sayup-sayup, di antara kegelapan dan ketidaksadaran, abangku Arif berkata, “kamu tidak sendirian (memperjuangkan semua ini).”
Tapi sampai kapan tragedi ini harus berulang? Karena setelah hampir 50 tahun aku berpulang, keadaan masih tetap sama. Kebebasan bersuara dibungkam, UU ITE diberlakukan, dan ah… perempuan masih sangat memusingkan baju dan kecantikan.
Mungkin aku bukan pahlawan seperti yang selalu kalian kenang-kenangkan. Aku masih butuh harapan dan mendamba kesempurnaan. Kesempurnaan demokrasi.
Saat aku merasa pesimis dan tanpa harapan, semangat perjuanganku padam. Jasadku kini terbaring di bawah batu nisan, sementara jiwaku tertunduk meredam kegelisahan.
Jakarta, Januari 2018 – Juli 2019
***
Tulisan kak Mar selalu cetar. Sebuah rangkaian kegelisahan tak berujung seorang Gie. Benar-benar terbuai akan setiap kalimat yang berhasil kak Mar rangkai. Gie, seorang yang selalu menginspirasi.
Saya ayakin Gie tidak sendiri dengan kegelisahannya ini.
Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk membaca artikel ini, Kak.
Aku nggak kenal Gie.. tapi dia dikenang dan jadi bahan obrolan sejak filmnya membooming kala itu tapi sayang aku bukan penikmatnya. Entahlah!
So far, tulisan Maria selalu bikin penasaran endingnya mau dieksekusi seperti apa. Dan lagi.. selalu memiliki cara untuk bikin tulisan enak dinikmati, membaca sambil berpikir, menahan nafas, lalu bertanya sendiri.. apa seh maunya? (aku yah..)
Tapi keren!
Salam
Hahahahaha, Kak Ratna bisa aja. Terima kasih sudah menjadi pembaca setia ya, Kak.
Ya ampun, hanyut sama cerita ini. Mantap ka
Terima kasih, Kak Nia.
Tq untuk tulisan nya, selalu menarik rangkaian kata demi katanya,sukses terus ya ci
Thank you for always supporting me, Kak Yogo.
Tanpa sadar, aku kebawa ke dalam cerita ini. Sangat menikmati ceritanya, eh tahu-tahu udah kelar. Ini ada lanjutannya kah kak?
Kak Antin, terima kasih ya sudah selalu setia menunggu karya-karyaku berikutnya.
Aku cenderung menyebut ini tulisan bukan cerita, karena tulisan ini begitu nyata menggambarkan perasaan seorang Gie.
Semoga suatu saat apa yang Gie cita citakan dapat terwujud. Karena Gie tdk sendirian, banyak jiwa yang juga mendambakan itu semua.
Amin, Kak Ifa. Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca karya-karya saya, ya.
Satire yang halus dan memang menggambarkan keadaan saat ini. Aku kok seolah bisa merasakan keresahan seorang Gie. Keren banget ceritanya kak Maria.
Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca artikel ini ya, Kak Moses
Meski tidak tahu banyak tentang Gie, cerita
di atas bikin merinding aku dibuat kak Maria. Ini termasuk cerpen atau bagaimana kak? Diksi nya ringkas, padat, tapi variatif banget sih kakanyaa…😍
Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca blogpost saya, Kak Ndari. Cerpen atau apapun itu, yang penting Kakak menikmatinya. =)
Awalnya aku mikir, ini lagi nulis sinopsis sebuah novel atau… ah baca lagi deh sampe habis. Terhanyut sama pembawaannya.. dan… wah ini tulisan kak maria.
Apik banget banget banget! Seakan yang sedang bicara adalah jasad soe hok gie yg kini sedang beristirahat dengan masih menyisakan keresahannya terhadap para penguasa.
Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca artikel ini, Kak Kartini. Semoga kerehan-keresahan yang hening ini bisa terdengar sampai kepada kaum penguasa.
Dari awal sampe akhir aku masih bingung, ini cerita tentang apa. Cuma pesan tentang isu-isu yang sudah jadi keresahan dari dulu hingga sekarang bisa tersampaikan dengan baik. Semoga next aku lebih paham lagi ya kak Mar… Hahahaa… keren sihh ini, trilogi tiga kisah, kalo aku ga slah mengartikan. Hehehe. Ditunggu kegelisahan selanjutnya kak…
Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca karya-karya saya, ya Kak.
Maria, keren loh pilihan kata dan alur ceritanya: dalam dan cerdas
Thank you, Kak Iqbal.
Kak Maria tetaplah menulis dengan alur yang smart ya. Memanjakan pembacanya dengan logika utuh dan penuh empati. Jika saat ini Gie ‘menjadi’ trilogi ‘narasi’, mungkin nanti Gie menjadi trilogi ‘narasumber sejati’.
Terima kasih sudah menjadi pembaca setia karya-karya saya ya, Kak.
Tulisannya kak maria bikin saya ingin membacanya berulang-ulang kali, keren banget sih bisa mengisahkan Gie yang ternyata jasadnya yang berada dibawah batu nisan itu.
Terima kasih sudah menyempatkan diri membaca karya-karya saya, ya Kak Cha.
Menulis dari hati hingga sampai ke hati. Seneng banget bacanya mengalir dan gak bosan😊
Terima kasih, Kak Puspa.
Ku selalu terkesima dengan alurnya, pilihan kata dan ah..semua.
Kamu beneran bisa membius pembaca dengan rangkaian kata yang sungguh bikin cerita jadi bernyawa.
Sukaaaa!!
Terima kasih ya, Kak Dian.
dipatung2 ini kutemukan simbol2 penganut iluminati
berasa baca novel ka. Mantap
Thank you, Kak.
Dari tulisan ini aku merasa bahwa Gie tidak benar-benar pergi, kak.
Yang pasti, Gie tidak sendiri, Kak Kal.
Waah cerita jalan2 ya ?? Gue kira novel ya.. kayakny seru ya maen d museum prasasti
ini keren… malah kebayang pengen jadiin ini cerpen… dah kebayang tempo dan dinamikan…. boleh gak kak?
Makasih, Babang Eka.
anak muda yang identik dengan kecintaannya pada tuhan yg dia jewantahkan dengan cinta alam, cinta kalam. anak muda yg identik dengan kebebasan. anak muda yang tak suka dengan ketimpangan. gie.
btw dari mana ide menulisnya?
Dari membaca Catatan Seorang Demonstran, Bang.
Kukira Kak Maria menulis cerpen tentang Gie, eh ternyata bukan. Makin dibaca makin kuhayati pilihan katanya, seperti biasa selalu membuat aku kagum. Suka banget paragraf pembuka iman dan pengharapam seorang pahlawan
Terima kasih, Miss Yun.
Keren banget kak tulisannya… dari kmrn aku pantengin blognya pemilihan kata dan kalimatnya juga epic.. mantap kaka
Terima kasih, Kak Fanti.
Ada satu hal yang menarik di artikel Gie : Trilogi Narasi, yaitu Herman yang dicap pembunuh walaupun sudah memberikan bantuannya. Hal yang kadang benar terjadi di dunia nyata.
Benar banget, Mas. Niat baik kadang nggak diterima dengan baik.
selalu salut sama tulisan kak maria. cerdas!
pilihan diksinya, alur ceritanya, bikin penasaran.
Terima kasih, Kak
Selalu suka cara kak maria nulis cerita.. tiap baca selalu menunggu akan dijadikan seperti apa endingnya..
Terus ya kok sedih sama si herman.. padahal dia yang nyelametin malah dituduh membunuh.. tapi hal2 kayak gitu banyak di dunia nyata
Terima kasih, Kak Leni.
Sedih ya memang saat niat baik ternyata tidak diterima dengan baik.
Suka banget sama kalimat-kalimatnya 🙂 Dan ini si Gie yang selalu menginspirasi.
Terima kasih ya, Kak Daus
Keren ka Maria, selalu punya makna yg mendalam, belum pernah mencari tahu banyak ttg sosok Gie tp di artikel ini ak bisa tau semangat perjuangannya besar sekali. Btw ka yg terkait iman, pengharapan, kasih, seingetku Paulus bilang yg terbesar adalah kasih, cmiiw.
Paulus dari universe lain kayaknya yg versi Gie =)
Tulisan kak Maria selalu keren, pemilihan katanya bagus banget. Sukses terus ya kak
Thank you, Kak Juna.
Ya Ampun kak maria, kamu membawa aku Seolah2 aku ada dalam ceritamu. Ini bakal ada kelanjutannya kan ya kak? Aku menantikan tulisan selanjutnya yaa kak
Ditunggu ya, Kak Endah.
Ini contoh cara nyinyir yang jenius. Aku suka banget sama tulisanmu yang ini kak.
Betul, Gie memang tak sendiri dan masih banyak orang” seperti Gie.
Kamu referensi bacaannya apa kak, tulisannya bagus” soalnya.
Hahahhhahaha… Thank you, Kak Sally.
Sebuah sindiran halus dibungkus dalam cerita pendek yang keren… Pesannya sampai banget ini.
Terima kasih ya, Kak Dewi.
Saya perlu 3 kali baca untuk mengerti tulisan ini 😁
kerenn tulisannya kak👍
=)
Serasa ada di dalam nya aku tu ka mar.. Keren bingits… 💕