Secuil Kisah Di Mahameru

74
3260

Bertandang

Mahameru, aku ingin mengunjungimu. Aku ingin merasakan hembusan angin subuh menepuk-nepuk tubuhku. Mengibaskan kenangan kelabu. Ayahku tak pernah pulang sejak seekor Kuda Tuli menjemputnya di tempat kerja. Ibuku hilang seketika saat peristiwa itu bertandang.

Mahameru, maafkan aku yang telah lancang merebahkan tubuh di berandamu. Hamparan rumput kemuning itu terasa lembut seperti pelukan Ibu.

Aku tahu kau tengah dilanda bingung: di jaman seperti ini, kok masih ada yang mau menghampirimu di tengah maraknya bangunan berpendingin buatan, bergentang asbes dan berkasur lembut bak kapas.

Lokasi: Kalimati, Gunung Semeru
Sumber: Koleksi Pribadi

“Matahari akan membakar tubuhmu hidup-hidup, Nak. Dan atap langit takkan mampu melindungimu dari badai hujan yang suka datang tanpa perlu undangan.”

Biarkan terik itu membakarku, Mahameru. Menghanguskan dosa-dosaku.

Mahameru hanya diam termenung. Mengikhlaskan dirinya dilumuri dosa seorang anak durjana. Ia pergi meninggalkan Ibu yang tengah bersimbah duka lantaran suami telah dinyatakan hilang secara paksa.

Dan pagar cemaranya, akan selalu terbuka bagi duka lara yang tak tahu lagi ke mana mereka akan bertandang.

***

Berbakti Kepadamu

Suatu pertanyaan jatuh pada hari yang mendung: “Mau sampai kapan hidup seperti itu? Berjalan menuju ke arah yang tak tentu. Sembari memanggul peluh pada kedua bahumu.”

Tak perlulah kau khawatirkan jalan hidupku.

“Saya hanya ingin melihatmu berhasil,” kilahmu setiap kali kumenggerutu.

Satu hal kau lupakan. Kita tak pernah membicarakan apa itu keberhasilan. Apakah definisi kita bersesuaian? Sukses menurutmu adalah tinggal di Meikarta. Sementara aku merasa tenteram dalam kebersahajaan alam.

Lokasi: Kalimati, Gunung Semeru
Sumber: Koleksi Pribadi

Pandanglah cemara gunung dan jemuju yang menyimpan sendu. Mereka rindu sentuhan kasih sayangmu. Kau terlalu sibuk membangun hingga lupa mengurus kebun.

Sekian lama mereka bersabar, hingga suatu hari deru angin bertandang. Lagi-lagi kabar duka datang seiring ketidakhadiranmu. Pertahanan mereka runtuh. Pepohonan rubuh. Dedaunan gugur.

Kau pun terperosok dalam perkabungan. Bencana alam, begitu kau menyebutnya.

“Mau sampai kapan hidup seperti itu? Menjadi penggiat alam dengan masa depan yang buram,” kau bertanya lagi.

“Sampai kau pulang dan sudi merawat kebun kita, Bunda. Aku tak ingin kau terus menjadi korban bencana. Telah lama aku menyumbang derita pada setiap tahunmu dan ini adalah balas budiku.”

Akhirnya kuberanikan diri menjawab pertanyaanmu.
Di dalam bisu.

Baca juga: Puisi Jalanan

***

Sajak yang Mendamba

Pada kemilau sabana kurebahkan bahu,
bersama kawan-kawan yang sedang terbalut lesu.
Waktu tak perlu menunggu lama sampai terhela napas dan terucap syukur,
bahwa kami boleh sebentar menghapus peluh.

Lokasi: Kalimati Gunung Semeru
Sumber: Koleksi Pribadi

Pada langit pandangan kami arahkan.
Matari mulai beranjak perlahan,
dan menghilang di balik pucuk cemara kemudian.

Sesaat kami termangu
Lelah tubuh mulai meninggalkan bahu
“Kamu pasti senang bisa menapakkan kaki di sini yah, Mas”
“Semoga kamu berhasil mengunjungi Istana Dewa itu yah, Mbak,”
Balas seorang teman sembari meraih segenggam semangat untuk mendirikan tenda.

Dalam tenda itu kami bertiga menikmati sisa hari.
Menyuguhkan kata dan kalimat tentang hidup dan mimpi.
Ditemani kehangatan kuah kaldu dan secangkir kopi.

“Suatu hari, aku akan mengajak anakku Kiara ke sini.”
“Apakah istrimu akan mengizinkan kalian pergi?”
“Dia akan berjihad melawan kekerasan hati.”
“Atau ikut bersama kalian menikmati kemegahan ini,” seorang teman kami menimpali.
“Kalian akan menguji calon pasangan kalian di tempat ini.”
Berdua kami memamerkan barisan gigi yang tak rapi.

Perbincangan berlangsung hingga malam menjelang,
dan kantuk menjenguk ke dalam meminta pemakluman.
Seperti doa yang kerap kupanjatkan,
lantaran dambaan yang telah datang tak mungkin ada dalam genggaman.

Selamat Malam, Pujaan!
Sajak ini kutorehkan untukmu, wahai Manusia Bayang-Bayang.
Semoga berkenan.

Baca juga: Petualangan Sang Hati

***

Menuju Puncak

Matahari telah bangun dari lelapnya. Laiknya kekasih, hangat cahaya segera memeluk tubuhku yang telah beku. Mengusap wajahku yang bermandikan peluh.

Ini adalah sebuah usaha, agar aku tak mudah mengeluh,
dan dalam diam, menikmati keindahan yang beliau suguhkan.

Menginjak Watu Gede dingin semakin menjadi.
Tubuhku kembali menggigil dan tekadku terombang-ambing.

Aku kembali tersungkur pada lantai tuf berwarna kelabu.
Sesama pendaki melemparkan kata-kata semangat.
Uluran tangan dan tepukan di bahu.
Mereka berlomba untuk mengusir kegamangan.

Sepuluh menit aku membatu. “Akankah aku tiba di Puncak Mahameru?”

“Ayah pasti bisa,” sayup-sayup kudengar suara Kiara, anakku.
“Tongkat itu adalah tanganku yang selalu menuntunmu dan jaketmu adalah rengkuhan Kiara yang akan menghangatkanmu.” Istriku segera menimpali.

Perjalanan menuju Mahameru
Sumber: Koleksi Pribadi

Aku kembali melangkah, melawan terbis kerikil dan membelah arus angin yang kian bising.
Sepasang kaki mulai bergegas. Bersama-sama, kita menggapai puncak dan menikmati keindahan lukisan Sang Pencipta.
Dan begitulah kita akan menempuh jalan hidup dan menggapai puncaknya.

Bersama-sama.

Pada hamparan pasir Mahameru aku sujud dan mengucap syukur karena takdir telah menyatukan kita. Membiarkan engkau dan Kiara menjadi inspirasi untuk terus berkelana.

Berbagi cerita bahwa cinta kasih belum punah dan bisa ditemukan di mana saja, bahkan di bangku kuliah. Dan jika beruntung, seseorang akan mampu membawanya pulang ke rumah seperti yang terjadi pada kita. Kiara adalah bukti nyata dari semua itu.

Peluk dan cium kepada dua perempuan yang selalu tabah nan ikhlas mengijinkanku pergi.

Aku tak sabar untuk segera kembali.

***

 

Malang – Jakarta, Januari – Agustus 2018

***

Catatan Pengarang: Terima Kasih kepada rekan-rekan Wisata Gunung yang telah menyertai saya dalam Pendakian Gunung Semeru pada tanggal 19-24 Oktober 2017 lalu. Karya fiksi gunung lainnya yang terinspirasi dari perjalanan saya mendaki gunung di Indonesia bisa Anda nikmati  dengan mengunjungi kategori Cerita. Selamat menikmati!

Save

Save

Save

Save

Save

74 COMMENTS

  1. Suka banget sama puisi pertama dan kedua, makna yang dikandungnya sepertinya sering dijumpai oleh penggiat kebersahajaan alam. Terima kasih juga untuk ‘kehangatan’ yang terkandung di dua puisi terakhir. Setidaknya biar saya yang mengartikan begitu ya, Kak Maria 🙂

    Keren!

  2. Dalem banget mbak… sensasi naik gunung emang bikin kita baper… rasanya dekat sama yang kuasa… Makanya habks pada naik gunung langsung pada bikin puisi

    • Benar sekali, Kak Airin. Naik gunung memberikan kesempatan kepada kita untuk merenung dan alhasil jadi syahdu gimana gitu. Makanya banyak puisi tercipta ketika kita tengah berada di sana.

  3. Prosa yang berpuisi, paduan katanya cantik dan membuat iri Kak Maria. Apalah saya yang cuma bisa bermain di gedung berpendingin buatan itu. Anw, pernah baca Delapan Semester Petak Umpet dengan Cinta? It has a poem in every chapter.

    • Terima kasih atas referensinya, Kak Mutiara. Saya belum sempat membaca, tapi saya akan meluangkan waktu untuk mencari dan membaca buku yang Kak Mutiara rekomendasikan.

  4. Usually, I never comment on blogs but your article is so convincing that I never stop myself to say something about it. You’re doing a great job Man. Best article I have ever read

    Keep it up!

  5. Suka sama puisi yang pertama dan kedua, apalagi sama kalimat “Sukses menurutmu adalah tinggal di Meikarta. Sementara aku merasa tenteram dalam kebersahajaan alam.”

    Daku semakin penasaran sensainya naik gunung, selalu salut sama perempuan yang pernah naik gunung.

  6. “Mau sampai kapan hidup seperti itu? Berjalan menuju ke arah yang tak tentu.”. Sukses menurutmu adalah tingga di Meikarta.

    Hmmm kata katanya mengundang tanya. Apakah seorang Ibu selalu sangat sangat mengkhawatirkan anak perempuan yang jatuh cinta pada pangkuan alam. Setidak bermanfaat itukah jika bercengkrama dengan semesta.
    ——————————————————————-

    Mahameru masih belum hilang tahun ke tahun dari checklist gunung aku. Kak. Lihat foto-fotonya semakin ga sabar pengen kesitu. Minta ijin ortu kesana perjuangan banget.

  7. Kakkkk Keren banget gaya penuturannya. Saya membacanya jadi merasa ikut nanjak ke Semeru dengan indahnya. Sesekali ada lompatan makna, tapi tetap asik.. Bebaskan kreatifmu ya Kak…

  8. Kata katanya indah dan tidak bikin kita harus berpikir keras.
    Keindahan alam memang bisa membangkitkan kreatifitas dan tidak harus di gunung kan? Maklum masa masa untuk mendaki sudah lewat untuk saya.

  9. Dulu sewaktu SMA aku ikut organisasi Pencinta Alam, salah satu lagu wajib kami dulu “Kan Kugapai Mahameru” dalam sajak2 Kak Maria entah kenapa kenangan masa remaja, masa ke Mahameru terlukis kembali. Terima kasih untuk puisi yang mengantarku sejenak bernostalgia

  10. “Mau sampai kapan hidup seperti itu? Menjadi penggiat alam dengan masa depan yang buram,” kau bertanya lagi.

    “Sampai kau pulang dan sudi merawat kebun kita, Bunda. Aku tak ingin kau terus menjadi korban bencana. Telah lama aku menyumbang derita pada setiap tahunmu dan ini adalah balas budiku.”

    Asli gabisa move on dari kalimat diatas..
    Aku seneng banget sama cerita2 kak maria.. gaya bahasanya khas banget..

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here