Kasih Versus Cinta yang Egois

4
1627

Mata saya belum sepenuhnya rapat. Hanya sedikit sembap. Hari ini, tepat empat tahun saya dan pacar memutuskan untuk bersama. Hanya saja, saya dan pacar sedang tidak bersama malam ini. Tak satu kabar pun saya terima dari sang pacar di hari yang seharusnya istimewa. Yang saya terima adalah panggilan telepon dari seseorang yang jelas bukan pacar saya. Baskoro namanya.

Rupanya, Baskoro tengah resah karena pujaan hatinya tak kunjung membalas pesan. Keresahan yang kami rasakan telah berada pada frekuensi yang sama. Pembicaraan antara saya dengan Bas pun menjadi tak terelakkan.

“Mungkin itu triknya supaya ia tak terkesan terlalu mudah,” jawab saya ketika Bas mengutarakan keresahannya.

“Kenapa harus begitu?”

Saya pun menjelaskan bahwa dalam norma yang berlaku, wanita memang diharapkan untuk sedikit ‘tarik ulur’ agar si wanita tak terkesan gampang atau murah.

“Gue nggak suka cara seperti ini. Apa adanya saja. Suka yah bilang saja. Nggak suka pun ya, tinggal jujur!” Nada  bicara Bas mulai meninggi.

Saya mulai merasa tidak nyaman. Bukan dengan nada bicaranya yang naik sekitar satu oktaf, tetapi dengan jawaban saya sendiri. Ucapan saya mengandung ketidakadilan gender. Maksud saya begini. Pada jawaban saya terkandung makna bahwa wanita memang tidak disarankan untuk menyatakan ketertarikannya kepada pria secara frontal dalam kebudayaan kami. Jika ketentuan budaya itu dilanggar, wanita tersebut kerap dianggar wanita murahan.

Pertanyaannya adalah: “Dianggap murahan oleh siapa? Oleh pria? Oleh masyarakat sekitar termasuk sesama wanita?”

Bukankah masyarakat kita sangat patriarkis? Bahkan tak jarang, pria memiliki otoritas menentukan norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk yang berlaku bagi wanita. Itu tidak adil, Saudara-Saudara! Ketidakadilan yang disahihkan.

Celakanya, saya pun tanpa sadar turut terbelenggu di dalam ketidakadilan itu. Yang tengah saya lakukan hanya diam. Menanam kecurigaan. Ini menuntun saya pada persoalan selanjutnya.

Ada yang Egois dalam Cinta Saya kepada Sang Pacar

Ketika bersamanya, saya selalu dikelilingi kebahagiaan dan kenyamanan. Oleh karena itu, saya menjadi tergantung pada keberadaannya. Saya pun mulai takut kehilangan sang pacar. Tak ayal, jika saya resah saat dia tak kunjung memberi kabar.

Pertanyaannya adalah: “Apakah saya mengasihi pacar saya?” Jika ya, mengapa saya tidak mencoba menghubunginya? Apakah pendapat masyarakat tentang nilai diri lebih penting daripada keharmonisan hubungan dengan pacar sendiri?

Cinta Biasa atau Keikhlasan Kasih

Jujur saja, saya merasa tak enak hati dengan Baskoro. Bas tak hanya menghabiskan tiga puluh menit waktunya, tetapi ia juga telah mempertaruhkan kententraman hati pada jiwa yang kontradiktif dan egois.

Bas seharusnya menelepon Mas Iwa[1]. Bukan saya. Sepertinya ia menyadari hal itu. Segera diakhirinya sesi pembicaraan kami. Bas pun memutuskan untuk melepaskan keresahannya pada pusat perbelanjaan yang sudah mulai lengang.

Saya sendiri akhirnya menyentuh nama pacar di layar ponsel. Kami pun menghabiskan sisa malam bersama.

Baca juga: Tafsir: Kisah Kasih Tragedi Tradisi

***

Buat pacar, selamat hari jadian.

Buat orang yang jelas bukan pacar, selamat hari jadi.

***

Jakarta, Januari 2019

Catatan Narablog: Artikel ini saya anggit dalam rangka 10 Kali Tantangan Menulis yang diadakan oleh Kata Hati Kita Production.

[1] Cerita Lagu Cinta, Delta FM

4 COMMENTS

  1. Terus saya jadi merenung, gimana ya hubungan saya dengan pasangan selama ini? Ah Kak Mar, selalu sukses membuat saya membaca tulisan kakak berulang kali…. salut euy

  2. kalau gw sendiri, lebih ke arah takut ditolak sih kalau menyatakan perasaan duluan.
    yang kedua gengsi, masa dia ga usaha sih dapetin gw,masa gw yg usaha?
    wkwkwkw.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here