Baskoro yang kurindukan, ada di mana dirimu saat ini? Karena dari sini, di antara tarian edelweiss dan melodi angin gunung yang mendengungkan rinduku padamu, aku hanya dapat menatap Si Gagah Merapi. Kepulan asap pada puncaknya tengah membawaku kepada kenangan empat tahun lalu.
***
Jakarta, Agustus 2012
Kembali dari Pasar Glodok bagaikan kembali dari medan perang. Dan aku pulang ke rumah dengan menggenggam kemenangan.
Hampir 30 tahun aku telah ditindas oleh rasa dendam dan benci pada tanah kelahiranku sendiri. Sejarah mengatakan kehadiran etnisku tak pernah berkenan di negeri ini. Pembantaian massal terhadap warga keturunan Tionghoa selalu mewarnai setiap rezim yang berkuasa. Dari Geger Pacinan hingga Tragedi Mei 98, etnisku harus menjadi tumbal bagi kegagalan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warga.
Kawasan Glodok adalah saksi bisu dari semua peristiwa kelam itu. Aku enggan untuk menjejakkan kaki di situ.
“Merah pada dinding bangunan dan lampion di kawasan tersebut adalah darah orang Tionghoa yang terbunuh. Kilau keemasannya adalah nanah kesedihan yang mengalir dari benak kami,” ujarku saat menolak ajakanmu untuk mencicipi masakan Hakka di kawasan tersebut.
“Sori, Val. Aku hanya ingin mencoba memahami alasanmu.”
Aku trenyuh, Bas. Perlahan tembok amarahku runtuh. Kubiarkan dirimu membawa kita ke pasar Petak Sembilan.
Pada awalnya, pasar yang terletak di Kawasan Glodok ini terkesan sama seperti kebanyakan pasar lainnya. Pesing dan anyir menyergap seluruh indra penciuman. Gerak gerik lampion yang terpasang di sepanjang jalan membangkitkan ingatanku akan peristiwa kelam itu.
Aku hampir saja lesap bersamanya jika kau tak bertanya mengapa hampir semua nama jalan di sini diawali dengan huruf K: Jalan Kemurnian, Jalan Kemenangan, dan Jalan Keadilan. Untuk menanamkan sifat positif di tempat pengasingan ini, jawabku datar berusaha membendung nelangsa yang kembali hadir.
Aku tahu, jawabanku tengah menampar diriku sendiri. Positif adalah kata yang telah lama hilang dari kamus bahasaku ihwal negeri ini. Jangankan berpikir positif, turut serta dalam Pilkada saja aku tak sudi.
“Bakcangnya, Siomaynya, Cie Cie.”; “Cari apa, Neng? Ikan gurame, bawal, masih seger.” Gegap gempita suara penjaja makanan mengiringi setiap langkah kita membelah gang sempit yang penuh dengan bangunan ruko dan poster Pasangan Pak Jokowi dan Ahok. Berusaha menemukan Wong Fu Kie, rumah makan yang hendak kita kunjungi.
Perjalanan kita berujung pada gang buntu. Tak ada lagi bangunan ruko yang terlihat. Hanya ada beberapa rumah tanpa reklame nama. Salah satunya memiliki dapur di bagian depan bangunan. Itukah, tanyaku.
Kau tak menjawab. Suaraku hilang bersama denting sutil yang beradu dengan wajan dan deru kompor yang tengah menggodok kuah kaldu. Rupanya kita telah tiba.
Kita memesan Mun Kyaw Mien, menu andalan tempat ini. Mie telur kenyal, pangsit goreng renyah, dan sayuran segar dengan siraman kuah kaldu serta minyak wijen itu membawaku pada suatu kesadaran baru. Tak semestinya kubiarkan kegetiran dan dendam masa lalu menguasaiku.
Seharusnya, aku seperti Ie Ie pemilik kedai yang gigih melestarikan masakan autentik Hakka di tengah badai persaingan dan pengasingan. Seharusnya, aku seperti para penjaja di pasar yang terus berbaur dan pantang menyerah menawarkan barang dagangan di tengah keterbatasan lahan.
Seperti mereka, aku seharusnya tak hilang harapan pada negeri ini. Foto Pak Jokowi dan Ahok yang terpajang di sepanjang pasar adalah dukungan mereka terhadap calon pasangan Gubernur yang dianggap mampu membawa Ibukota ke arah yang lebih baik.
Aku merasakan genangan air menyeruak di pelupuk mata. Bukan sedih, tetapi haru. Sedikit bersalah bercampur malu. Di antara dinding kedai yang telah lapuk terkikis waktu, aku bersyukur kau telah mengajakku ke sini. Aku akan turut serta dalam Pilkada nanti.
***
Jakarta, September 2012
Untuk pertama kalinya, aku turut serta dalam Pilkada. Dan nasib mujur tengah berpihak kepadaku.
Pasangan Gubernur pilihanku menang. Kinerjanya memuaskan. Kekagumanku kepada Pak Jokowi telah menggerakkan hatiku untuk mengunjungi Solo.
Namun, ketidakpedulianku pada negeri ini telah menyesatkanku ke Desa Selo. Mendaki Gunung Merapi. Lucunya, dirimu menurut saja saat aku memintamu untuk menemani.
Selama pendakian, hamparan hijau perkebunan, udara segar khas pegunungan dan kearifan lokal penduduk setempat senantiasa menyapa kita. Masih teringat jelas dalam benakku bagaimana pemilik basecamp tempat kita menginap berbagi cerita tentang erupsi gunung api paling aktif itu beberapa tahun lalu.
Ratusan warga beserta istri dan anaknya tewas saat itu. Namun terlepas dari tragedi yang menimpanya, ia tak segan mengajak kita mengunjungi bungker tempat warga mengamankan diri saat erupsi berlangsung.
“Maaf, Pak. Saya membuat Bapak teringat mendiang keluarga,” ucapku.
“Rapopo Mas, Mbak. Keluarga kuwi titipan Gusti Allah. Wis sakmestine bali marang Gusti Allah. Sedih iku oleh-oleh wae, nanging ojo kesuwen. Urip kudu terus berjalan. Ngelakoni urip sik tulus iku ibadah sik sak tenane.”[1]
Aku memandang beliau penuh rasa kagum; dirimu mengucapkan terima kasih kepada beliau yang dengan murah hati telah menyertai kita.
“Aku mung sakdremo bagi pengalaman, Mas, Mbak. Koyo ngene iki urip neng daerah. Aku ro warga kene mung berusaha seneng lan mandiri. Seneng karo susah dilakoni dewe. Ojo sitik-sitik nganggo emosi.”
“Saya hanya berbagi pengalaman. Beginilah hidup kami di daerah kecil. Saya dan warga cuma berusaha untuk mandiri. Bahagia dan bencana dihadapi sendiri. Jangan kebawa emosi.” Dengan sabar kau menterjemahkan untukku. Aku tersentuh. Oleh ketegarannya dan oleh kesungguhanmu.
***
Sungguh, betapa selama ini aku telah berhutang kepadamu, Bas. Bersamamu, aku berkelana menembus lorong ruang dan waktu untuk mengenal negeri ini. Dirimu telah memperluas jendela pikiranku yang hanya sebatas ruang kantor dan tempat nongkrong.
Namun, aku tetap takut untuk membuka pintu hatiku. Keluargaku tak akan pernah memberi restu. Apalagi saat aksi masa yang menggugat Ahok kembali memicu ketegangan antar warga. Jangankan untuk membiarkan aku menjalin hubungan denganmu, untuk mengijinkanku mendaki Gunung Merbabu pada saat demonstrasi itu berlangsung saja raut wajah Papa nampak kusut.
Bas, ada dimana dirimu saat aksi masa itu berlangsung? Menyaksikan kehebohan yang terjadi, mengingatkanku pada percakapan kita yang terakhir. Dirimu belum mampu memahami keputusan dan pandanganku tentang perbedaan etnis di antara kita.
“Ini era Reformasi, Val. Keberagaman etnis sudah diakui. Huru-hara semacam itu tak mungkin terjadi lagi,” kilahmu.
Betapa mudah bagimu untuk beranjak dari sejarah kelam itu saat kau tak berada di sini. Kau tak perlu menyaksikan kobaran api kemarahan meruntuhkan bangunan serta menghabiskan penghuninya hanya karena satu alasan: darah Tionghoa mengalir di sepanjang nadi mereka, ceracauku.
Baca juga:Tafsir – Kisah Kasih Tragedi Tradisi
Dirimu sadar, tak ada gunanya berdebat kusir denganku. Kau meraih tanganku, menatapku sejenak dan beranjak pergi.
Kini, apa yang terlintas di benakmu ketika pada akhirnya dirimu menyaksikan ketegangan antar etnis kembali terjadi, Bas? Apakah kau, seperti diriku dan kebanyakan pendukung Ahok lainnya, atas nama toleransi turut mencerca mereka yang menuntut beliau? Adakah dirimu juga turut serta dalam Parade Kebhinekaan yang digelar dua hari setelah aksi bela agama tersebut?
Masih sudikah dirimu menceritakan suasana Ibukota selama tiga hari kepergianku? Seperti yang pernah kau lakukan di Gunung Merapi beberapa tahun lalu? Karena dari ketinggian 3.142 mdpl ini, atau yang disebut Puncak Kenteng Songo, seruan keyakinan yang beraneka ragam itu tak terdengar sama sekali.
Yang masih bergaung dalam telinga adalah gumaman “Bismillah” dan “Jesus help us all” yang silih berganti. Merebak di antara suara kaki dan hembusan nafas yang tertatih. Selama lima jam kami menapaki jalur pendakian Selo, Bas. Menelusuri jalan setapak beralaskan batu cadas yang hanya dipagari oleh gugusan pohon lontar dan batang pinus. Sesampainya di perkemahan, kami hanya mampu memandang lembayung senja. Sementara hembusan angin membasuh peluh dan melunturkan keangkuhanku. Meninggalkan aku dengan pikiran yang jernih untuk sebuah diskusi.
“Kemarin kenapa sempat mau batal, Val?”
“Papa khawatir kalau terjadi huru-hara setelah aksi masa itu. Seperti kejadian sebelumnya.” Sepertinya aku telah salah bicara, Bas.
“Apa yang membuat Papamu berpikir demikian?”
Aku hanya diam. Tak ingin memperkeruh suasana.
“Oknum yang kami tuntut memang keturunan Tionghoa. Tetapi, kami tidak menuntut karena etnis atau agama. Kami tidak suka dengan ucapannya yang tidak pada tempatnya. Pertama, ia sering mencaci warga di muka umum.
Lalu, dengan enteng ia mengomentari cara rakyat beribadah tanpa memikirkan dampaknya. Kalau warga marah, paling minta maaf. Besok mencela lagi. Hubungan antar masyrakat apa yang diajarkan oleh orang nomor satu Ibukota itu?”
“Jika tutur katanya lebih sopan, apakah Mas akan mendukung beliau?” tanyaku penasaran.
Ia tersenyum dan meraih bahuku.
“Hasil kerjanya baik. Saya tak pernah meragukannya, tetapi akhlak itu krusial. Sayang, niat yang saya dan rekan-rekan harus tercoreng karena propaganda media dan campur tangan berbagai pihak.”
“Seperti poster anti-Tionghoa yang sempat terlihat pada saat aksi masa berlangsung?”
“Jangan takut, Val.” Ia mempererat rangkulannya dan menyerap kegelisahanku.
“Ngmong-ngomong, Mbok ya Kangmas-nya coba dihubungi. Jangan cuma dilamuni.” Aku tertawa. Meninju kecil perutnya.
Bas, mengapa aku harus berhadapan dengan keperkasaan alam terlebih dahulu untuk mampu membumi? Betapa dialog singkat sebenarnya lebih dibutuhkan untuk saling memahami ketimbang sikap antipati dan orasi di sana sini. Semua itu hanya membuat hubungan warga semakin runcing dan diriku patah hati. Sungguh aku ingin menyampaikan terima kasihku kepadamu atas perjalanan kesadaran yang sarat pengajaran ini.
Aku masih duduk termenung. Memandang bintang yang mulai mengisi langit malam. Menghitung peluangku untuk kembali bertemu denganmu. Masih sudikah kau menemuiku, Bas? Jika tidak, izinkan aku setidaknya menyimpan harapan bahwa lembaran kertas tanpa suara ini akan memaparkan segala kenangan dan rinduku padamu. Karena kemanapun kaki ini melangkah, hatiku telah tertambat padamu.
Valen
Merbabu, Desember 2016
***
[1] “Nggak apa-apa, Mas, Mbak. Keluarga adalah titipan Allah dan pasti akan kembali kepadaNya. Sedih boleh saja, tetapi jangan kelamaan. Hidup terus berlanjut. Bagi saya, menjalani hidup dengan tulus adalah ibadah yang sesungguhnya.”
Catatan Pengarang: Cerita ini pernah diterbitkan oleh Qureta.com pada tanggal 28 Februari 2018 dan dapat diakses melalui tautan ini. Karya fiksi gunung lainnya yang terinspirasi dari perjalanan saya mendaki gunung di Indonesia bisa Anda nikmati dengan mengunjungi kategori Cerita. Selamat menikmati!
[…] Wisata Gunung adalah “Surat Untuk Baskoro” dan bisa Anda nikmati dengan mengunjungi tautan ini. Selamat […]
[…] Wisata Gunung adalah “Surat Untuk Baskoro” dan bisa Anda nikmati dengan mengunjungi tautan ini. Selamat […]
Saya bisa memahami beberapa messagr yang disampaikan melalui cerita di atas… InsyaAllah next time more better ya….
Siap, Kak Tuty.
Terkadang kalau baca cerpen seperti ini pembaca yang kritis akan bertanya-tanya, apakah cerita di atas berdasarkan pengalaman pribadi penulis? Apakah tokoh utama adalah alter ego dari sang penulis? Apakah latar belakang cerita juga berdasarkan apa yg terjadi pada kehidupan penulis sendiri?
Namun biarlah itu tetap menjadi pertanyaan. Terus berkarya ya Mbak Maria. ☺️
Nice thought, Kak Den. Thank you for stopping by.
Entah kenapa tulisan kak Maria selalu menghipnotis saya. Banyak kejadian, pengalaman pendakian dan yang pasti masih tentang etnis. Dekat dengan keseharian. Salut euiyy.
Terima kasih sudah mampir yah, Kak.
Keren. menulis fiksi tidak mudah, tapi kak Maria berhasil menyajikan dengan baik. Pembaca seperti saya merasa terhibur.
Terima Kasih, Kak Maya.
Keberagaman etnis dan agama semoga tetap terjaga di Indonesia. Salam Bhinneka Tunggal Ika…
Amin, Mas Ris.
[…] Baca juga: Surat Untuk Baskoro […]
[…] pendek saya yang berjudul “Surat Untuk Baskoro” adalah hasil latihan saya membangun deskripsi pada Klinik Menulis Fiksi bersama Leila Chudori yang […]