Tuam dan Anggrek yang Hilang

39
1800

Mereka menyebutku Tuam. Beberapa mengakui bahwa nama julukanku mengingatkan mereka pada sebuah kota yang terletak di negara Irlandia. Menurut referensi yang pernah kubaca, nama kota tersebut berasal dari kata dalam bahasa Latin tumulus. Batu nisan.

Serupa batu nisan, bentukku beraneka ragam sesuai keperluan pekerjaan. Aku kadang menjelma sel-sel mikroskopis yang mendiami tubuh manusia untuk waktu tertentu sebelum membawa rohnya pergi bersamaku. Kadang, aku bisa juga datang dalam rupa kecelakaan yang melibatkan pengendara motor yang ugal-ugalan dan seorang pejalan kaki yang tengah menyeberang jalan. Dalam kasus yang terakhir ini, acap kali aku segera membawa pergi kedua arwah manusia itu bersamaku.

Biasanya, aku tak pernah berkompromi dalam menuntaskan misiku. Tuanku bilang, jiwa seluruh umat manusia kini berada dalam genggaman-Nya. Bahkan salah satu agama mengajarkan umatnya untuk mengikhlaskan kehidupan mereka kepada Tuanku. Terjadilah kepadaku sesuai kehendak-Mu, begitu kalimat yang kerap diucapkan dalam doa-doa mereka. Aku bilang “biasanya” karena aku pernah melakukan hal yang berbeda.

Saat itu, aku diutus ke tengah hutan pegunungan dalam rupa rasa lelah yang teramat sangat pada tubuh seorang perempuan.

Aku menamainya Anggrek. Ia sungguh mengingatkanku akan tumbuhan epifit yang banyak kujumpai selama misi ini. Bagaimana tidak, walau ia tampak mandiri dalam memenuhi kebutuhan kesehariannya, ia masih harus menumpang tinggal di rumah orang tuanya.

Selama dua jam aku menggerogoti pikiran Anggrek ketika sepasang kakinya melintasi jalan setapak terjal yang dilapisi batuan kerikil. Sesekali kutampilkan ingatan akan tabungannya yang kian menipis. Kali lain, kumainkan kenangan akan mantan suami yang telah menceraikannya untuk menikah dengan perempuan lain dan membawa pergi sebagian besar kekayaan Anggrek.

Namun, Anggrek adalah manusia yang tangguh. Suasana muram pendakian menelusuri hutan lembap penuh lumut tak lantas membuat semangatnya redup. Siasat melankolis yang kukerahkan tak kunjung menumbuhkan niatnya untuk menyerah.

Kupinta bantuan pada hujan lebat dan kisaran angin. Aku mulai merasakan tubuh Anggrek menggigil.

Pandangannya pun mulai kabur. Kumanfaatkan kesempatan ini untuk mempercepat penurunan suhu tubuhnya. Aku berhasil. Anggrek mulai tak sadarkan diri. Tanpa menunggu lama, aku segera mencengkeram lengan kanannya untuk menarik roh Anggrek keluar dari tubuhnya.

“Jangan sekarang!” tangan kiri Anggrek menahan tarikanku.

Aku terperanjat. Baru kali ini seorang manusia berani berusaha menghentikan misiku.

“Aku takut menghadap Tuanmu. Jujur, aku belum sanggup mempertanggungjawabkan segala perbuatanku kepada-Nya. Kau tahu? Aku ini Anak yang Hilang.”

Dahiku berkerut. Aku masih belum mampu berkata-kata.

“Tuanmu pasti pernah menceritakan kisah itu, kan? Puluhan tahun lalu, Tuanmu mempercayakan aku pada sebuah keluarga berada. Aku sendiri diberikan talenta berupa kesempatan untuk mengecap pendidikan hingga perguruan tinggi. Ayah dan Ibuku memang memaksaku untuk mengambil jurusan akutansi, sementara aku lebih tertarik pada sinematografi. Namun, bukan berarti aku berhak mengubur talenta itu bersama pernikahanku dengan mantan suamiku. Pernikahan dini yang hanya mampu menuntut warisan dari keluargaku sebelum waktunya. Kini, aku tengah menanggung akibat dari semua perbuatanku. Biarkan aku melunasi semua hutangku kepada orang tuaku dulu.”

“Kau akan melunasinya di Api Penyucian, wahai A… “

“Tangis kesedihanku akan memadamkan api itu. Ayah dan Ibu sangat mengasihiku. Selama sepuluh tahun mereka menunggu kehadiranku. Mereka memaksaku mengambil jurusan Akutansi juga karena mereka ingin agar aku hidup berkecukupan ketimbang terjun ke dunia perfilman yang tidak menentu. Apalagi saat itu rezim Orde Baru. Birokrasi dan pajak berlapis-lapis. Jika ada pejabat, keluarga dan kerabat penguasa yang tersinggung dengan film garapanku, Tuanmu dan kau tentunya, akan dipaksa untuk mencabut nyawaku.”

Aku masih berusaha mencerna setiap kata-katanya. Tuanku memang pernah bercerita bahwa di belahan Bumi ini, pernah ada suatu rezim yang berkuasa selama kurang lebih tiga dasawarsa.

Pada saat itu, entah berapa arwah yang terpaksa harus kami pisahkan dari jasadnya, terutama arwah mereka yang sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan sesama warga dari belenggu pemerintahan yang korup.

Negeri ini dianggap milik pribadi keluarga dan kerabat pihak pemerintah. Perampasan lahan, pemilihan pemimpin dengan calon tunggal, hingga pembodohan massal dengan desaparecidos dan beredel terhadap oknum yang dianggap mengusik kekuasaan mereka.

“Kau tentu sudah berkali-kali melakukan pekerjaan ini. Mendengarkan ratapan orang tua yang ditinggal pergi oleh anaknya terlebih dulu tentu bukan hal yang baru bagimu. Kudengar itu adalah tangisan yang paling masygul yang pernah ada. Aku tak akan sanggup menghadapinya.”

Anggrek sungguh kau adalah manusia yang maha kukuh pada pendirianmu. Belum pernah seorang pun yang berceloteh sepanjang ini ketika aku hendak menjemput arwahnya. Kau yang pertama.

“Dan aku masih punya satu alasan lagi.”

Ya ampun Tuan, dia masih belum hendak berhenti.

“Keinginanku untuk segera menikah tak lebih dari akibat propaganda Dharma Wanita yang telah mengakar pada negeri ini sejak kekuasaan Orba. Wanita dianggap kaum lemah yang harus dilindungi dan tak mampu mengambil keputusan sendiri. Pernikahan diagungkan dan dianggap sebagai pencapaian terbesar kaum perempuan. Aku yakin aku tidak sendirian. Celakanya, menurut referensi yang pernah aku baca, lebih dari sembilan puluh persen kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh suami mere…”

“Diamlah, kau! Aku hanya ingin menyelesaikan pekerjaanku.”

“Kau tak pernah lelah bekerja sepanjang tahun tanpa cuti? Dengar! Aku baru saja mendapatkan pekerjaan dengan jenjang karir yang menjanjikan. Akan kulunasi hutangku kepada Ayah dan Ibu lalu memulai hidup baruku. Aku ingin memberdayakan kaumku agar tak terjebak doktrin itu.”

Sungguh, aku mulai kehilangan kesabaran. Aku segera menarik lengan Anggrek, tetapi kekuatan cengekeraman tangannya dan kekukuhannya menahanku.

Kutatap sepasang matanya. Sinar matanya menuntut pengecualian. Kulepaskan genggamanku dan kudapati ia tersenyum.

Kupeluk Anggrek.

“Terima kasih, Tuam. Aku sudah tak kedinginan atau nyeri lagi.”

Ia segera berjalan menghampiri tubuhnya sendiri.

“Anggrek,” panggilku.

“Tolong sampaikan kepada rekan-rekanmu untuk jangan pernah takut menghadapiku dan Tuanku. Mereka menjulukiku Tuam karena mereka takut menyebut nama asliku, Maut. But there are always two sides of a coin. Tuam memang memiliki etimologi yang sama dengan tumulus yang berarti batu nisan, tetapi tuam juga berarti pembebat yang menghangatkan dan mampu meredakan nyeri hidup yang pernah manusia rasakan.”

What about Your Boss?”

“Seperti dalam cerita Anak yang Hilang, Dia akan selalu menyambut mereka yang telah pulang dengan tangan terbuka dan memeluknya hangat,” kudapati seuntai senyum pada bibirnya.

Kubiarkan Anggrek melanjutkan perjalanan. Kupinta hujan dan angin untuk segera menyingkir.

Jakarta, Juni 2018

***

#katahatichallenge #katahatiproduction #harike-6

Catatan Pengarang:

  1. Karya fiksi gunung lainnya yang terinspirasi dari perjalanan saya mendaki gunung di Indonesia bisa Anda nikmati  dengan mengunjungi kategori Cerita. Selamat menikmati!
  2. Cerpen ini saya gubah dalam rangka Tujuh Hari Menulis “Katahati Writing Challenge” yang diadakan oleh Kata Hati Kita Production.

Save

Save

Save

39 COMMENTS

  1. Kak.. Saya penasaran nih sepertinya ada sesuatu spesial yang jadi inspirasi kakak di tulisan ini…. Btw, suka dengan tatanan bahasa tulisan Kakak… Alus pisan

    • Betul, Kak Den. Cerita ini terinspirasi dari pendakian pertamaku bersama BPJ. Hujan setia menyertai perjalanan kami.

  2. Ada saja bahan buat jadi cerita. Super kreatif nih….
    BTW, di setiap tulisannya selalu ada Orde Baru. Memang sih, banyak hal pahit di sana.
    Sepertinya mbak Maria berbakat buat jadi novelis.

  3. Kak, entah ini komen kesekian yang selalu kuselipkan kata salut. Hebat sekali bisa menyisipkan unsur kelamnya sejarah di dalam cerita surealis seperti ini. Dan kekaguman pada plot twist serta pilihan kata-kata di tulisanmu membuatku angkat topi

  4. Membaca ini saya jadi teringat Bapak yang baru berpulang. Meskipun mungkin latar belakang cerita ini tidak sama dengan pengalaman pribadiku, terima kasih sudah menguatkan saya 🙂 “Dia akan selalu menyambut mereka yang telah pulang dengan tangan terbuka dan memeluknya hangat”

  5. Wah fiksi-nya mantul, aku sampai baca berulang-ulang untuk mengerti dan makna si Anggrek ini. Terulik juga era korupsi dan sebagainya, ajarin aku dong mbak…

  6. Jadi ingat film Korea Along With The God.
    Tapi aku rasa, setiap makhluk yang bernyawa, akan takut sekali jika mengetahui hari kematiannya telah ditentukan. Padahal, sesuatu yang pasti di dunia ini hanya satu.
    Kematian.

  7. Oh ternyata mbak tergabun di BPJ ya. Aku belum pernah naik gunung sungguhan yang tinggi gitu tapi sudah pernahnya naik anak gunung kratatau dan Bromo aja 🙂 gak dihitung ya itu.
    Cerpennya bagus juga ambil setting pendakian.

  8. Aku udah lama gak ngefiksi. Baca ini jadi kangen juga. Terus terang ya, hampir semua orang takut akan kematian. Em mungkin hidup setelah mati itu sih

  9. Tulisan yang keren. Membuat pembacanya memutar otak. Sarat dengan makna yang dalam. Suka dengan pilihan diksinya. Aku nyerah untuk membuat cerpen seperti ini. Imajinasi fiksi saya sudah tumpul. 😀

  10. Cerpen nya sarat makna mbak….saya suka alur ceritanya…. Inspiratif banget, cerpen yang tercipta dari pengalaman saat mendaki…..

  11. Cerpen yang mantap banget Mbak. Dari awal saja saya udah gak bisa tebak alur dan endingnya bakal seperti apa. Benar2 mengajak pembaca ikut berimajinasi dengan cerita tentang Tuam saat hendak menjemput Anggrek ini.

  12. Tuam ini malaikat maut atau pencabut nyawa gtu mbak? Terus terang aku baru dengar istilah ini.
    Oh dalam ceta itu Anggrek seolah malah senang ya saat nyawanya dicabut. Kebimbangannya sangat besar rupanya….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here