Air Bah Dini Hari

11
2107

Pukul tiga dini hari. Mungkas terhempas dari mimpi. Napasnya masih tertatih. Telah beberapa hari ia bergulat dengan pikirannya sendiri. Sebagian dirinya masih ingin bekerja di pusat kebugaran itu. Namun, tanggung jawab sebagai suami menganjurkan Mungkas untuk segera mengundurkan diri demi hadirnya si jabang bayi.

Beberapa hari yang lalu, hasil tes kehamilan Ayu datang membawa berita kegagalan. Arus kekecewaan dan kesedihan segera membobol tanggul mata Ayu. Meninggalkan sejumlah genangan pada meja kerja dokter kandungan mereka. Panik lantaran genangan itu mulai membasahi beberapa kertas kerja, dokter itu segera menyerahkan selembar tisu untuk menyeka air mata pasiennya.

“Jangan dibawa stress. Kalian harus dalam keadaan tenang. Istirahat yang cukup. Jangan keseringan lembur,” ujar sang dokter kepada mereka.

Batin Mungkas bergetar menyaksikan semua ini. Terlepas dari banjir tahunan yang kerap ia hadapi, dirinya masih terguncang saat menghadapi luapan emosi istri. Apalagi saat dokter mengucapkan anjuran pamungkas tadi. Jangan keseringan lembur, kalimat itu masih terngiang di antara sepasang telinga Mungkas.

Lembur. Sesuatu yang begitu lekat dengan Mungkas beberapa tahun belakangan. Ia sangat cergas dalam menala ragam latihan sesuai dengan kondisi fisik kliennya. Keahliannya telah mendatangkan setumpuk sesi Personal Training kepadanya. Kebanyakan klien adalah pegawai kantor yang hanya bisa berlatih pagi-pagi sekali sebelum memulai hari atau saat hari telah larut dan tubuh mereka telah penuh oleh lemak jenuh dan tenggat waktu. Memulai hari pukul empat subuh dan bekerja hingga tengah malam. Begitulah rutinitas Mungkas selama enam hari dalam seminggu. Tak banyak waktu tersisa untuk sekedar beristirahat tentu.

“Berhenti kerja dulu saja, Mas. Kita bisa minta bantuan bapakku untuk membantu melunasi cicilan rumah,” ujar Ayu saat meninggalkan ruang konsultasi.

Mungkas mengelus pinggung istrinya. “Pulang dulu, yuk. Sudah malam ini. Besok hari Senin. Aku ngajar pagi.”

Sepanjang perjalanan pulang, Mungkas sibuk menelusuri pedalaman pikirannya. Memungut puing-puing kemungkinan untuk menyusun skenario biaya kehidupan kedua orang tua dan adiknya yang masih sekolah. Tabungan yang ia punya memang mampu membiayai hidup mereka untuk beberapa saat. Jika nasib sedang mujur, tentunya. Tanpa penyakit ayah yang kumat ataupun penolakan dari adik untuk menunda masuk kuliah. Dengan catatan, menggunakan tabungan itu berarti tak ada biaya untuk kehadiran momongan. Betapa semua berakhir pada jalan buntu. Seperti posisi rumahnya itu.

“Mas,” Ayu mencoba memecah keheningan yang terus berlanjut setibanya mereka di rumah.

Letih membendung kegusaran, Mungkas mencoba mengingatkan Ayu bahwa pengunduran diri Mungkas bukanlah jalan keluar dari persoalan mereka. Walaupun orang tua Ayu mau membiayai hidup mereka, Mungkas masih memiliki orang tua dan seorang adik yang masih butuh biaya.

“Tapi mau sampai kapan, Mas? Kamu tahu, orang sudah mulai curiga jangan-jangan kamu mandul!”

Sesuatu seakan telah menampar egonya sebagai lelaki. Sepasang matanya membesar. Bola matanya begitu tegang menahan arus kemarahan yang tiba-tiba datang.

“Orang memang suka bicara sekehendak mereka, Dik. Ndak usah dipikirkan. Kamu ingat, kita sudah berjanji untuk hidup mandiri setelah menikah. Merepotkan Bapak sama saja dengan menelan air ludah sendiri,” ujar Mungkas setenang mungkin.

“Apa kamu terima saja tawaran Bapak untuk bekerja di kantornya? Masalah angka biar Bapak yang atur supaya cukup.”

“Lalu apa bedanya kita dengan pejabat yang hobi KKN itu, Dik? Apa bedanya kita dengan orang-orang yang kerap kita maki karena kerakusannya. Itu sama saja kita menjelma monster yang kerap memeras jerih payah rakyat seperti kita, lalu mengirimkan arus banjir setiap tahun sebagai rasa terima kasih.” Mungkas berusaha menepis tawaran itu.

Eling, Mas. Usia pernikahan kita sudah memasuki usia ketujuh dan sebentar lagi usia kita menginjak empat puluh. Orang bilang, sel telur akan memburuk memasuki usia empat puluh. Aku juga wis capek dengerin olok-olok orang karena belum juga punya anak!” Ayu terus merajuk.

Lagi-lagi arus emosi merabas kelopak mata Ayu. Dan malam itu adalah awal dari malam-malam kelabu serta mimpi buruk Mungkas. Mimpi itu selalu berakhir sama. Mungkas terhempas dari mimpinya dengan nafas tertatih. Seperti saat ini.

Mungkas menghela nafas panjang. Ia tak habis pikir mengapa Ayu begitu mudah menuruti perkataan orang. Ia masih ingat bagaimana Ayu mendesak Mungkas untuk segera menikahinya lantaran desakan kerabatnya. “Sudah terlalu lama pacaran nanti malah putus,” ujar mereka. Ketika keluarga besar Ayu hendak berlibur ke luar negeri, ia memaksa turut serta. Padahal, mereka tengah dililit tagihan inseminasi. Kini saat dana tabungan mulai menipis lantaran biaya inseminasi yang terus berulang, ia malah mengusulkan Mungkas untuk berhenti bekerja.

Mungkas juga sadar bahwa tuntutan Ayu dan sekitarnya tak akan berhenti sampai di situ. Setelah anak pertama akan ada tuntutan untuk memberikan adik. Jika anak pertama mereka laki-laki, kapan memiliki anak perempuan. Begitu seterusnya. Padahal gaji mereka berdua saat ini hanya cukup untuk membiayai keseharian mereka dan cicilan rumah sembari sedikit menabung untuk calon anak pertama mereka. Jika diizinkan tentunya.

Mungkas menghabiskan sisa subuh dengan mata terjaga. Rasa kantuknya telah lenyap terkikis oleh kegusaran yang beberapa hari ini menggerogoti dirinya. Mungkin ada baiknya menerima tawaran ayah mertua, batin Mungkas. Bukankah sudah tanggung jawab dirinya sebagai seorang suami untuk membahagiakan istri? Walaupun menjadi suami yang baik belum tentu menjadikan dirinya manusia yang baik.

Mungkas tersenyum miris sembari menggelengkan kepala. Membayangkan ia bekerja untuk mertuanya membangunkan ingatan akan celotehan para kliennya. Tentang politik kantor yang sama saja kotornya dengan politik negara ini. Tentang amarah kliennya pada rekan kerja yang seenaknya mengkambinghitamkan anak buah demi melepaskan diri dari permasalahan. Celakanya para petinggi dihargai dengan upah selangit untuk semua ini. Untuk menjerat kaum kecil, untuk menghancurkan moral orang kebanyakan serta pekerja bawahan, dan untuk meningkatkan kadar depresi sesama demi sebongkah prestise. Sementara mereka yang memperjuangkan kebaikan bersama harus rela hidup pas-pasan, jika tidak terjerumus ke dalam lubang kemiskinan. Ironis memang.

Masa depan mereka yang berjuang untuk kebaikan, kerap begitu kelam.
Sumber: koleksi pribadi

Kini ironi hidup itu tengah menjamah dirinya. Ia yang dengan tekun menggeluti dunia kebugaran untuk meningkatkan kesehatan orang banyak harus terbentur propaganda kemapanan kehidupan urban. Gajinya sebagai personal fitness trainer dianggap Ayu tak mampu untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai suami yang harus membiayai liburan istri ke luar negeri dan makan di restoran bergengsi yang sarat lemak.

Padahal jika ditelaah lebih dalam, penghasilan tinggi takkan berarti bila hanya untuk membiayai pengobatan penyakit yang secara tak langsung disebabkan oleh pekerjaan itu sendiri. Seperti yang kerap ia dengar dari klien yang harus membayar puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk pengobatan hanya karena mereka lalai menjaga kesehatan. Semacam gali lubang tutup lubang nggak sih, gumam Mungkas dalam hati. Dan baginya, ironi itu semakin terasa dengan kenyataan bahwa bekerja di perussahaan kontraktor milik ayah mertuanya sama saja menerjunkan diri ke lautan korupsi.

***

Mungkas masih tenggelam dalam lautan pikirannya ketika alarm berbunyi dan menarik dirinya kembali pada kesadaran. Ia segera bersiap. Ia ingin segera meninggalkan rumah. Sial! Ayu segera terbangun dari tidur. Tanpa basa-basi istrinya segera bertanya:

“Sudah bilang akan mengundurkan diri, Mas?”

“Belum.”

“Rencananya kapan?”

Ndak iso gitu, Dik. Masih ada orang tua dan adik.”

“Sampai kapan, Mas?”

“Saya harus segera berangkat kerja. Nanti malam saja kita bahas lagi.”

“Sampai kapan, Mas? Nunggu kelamaan malah semakin nggak bisa punya anak. Buat apa nikah kalau begitu?”

“Ya, kalau memang tujuan nikah hanya untuk punya anak, lebih baik kita sudahi saja.” Mungkas segera beranjak meninggalkan Ayu. Air bah emosi siap menghanyutkan rumah tangganya seperti arus banjir yang menghanytkan rumah orang tuanya dalam mimpi, sampai akhirnya ia terbangun dengan napas yang tertatih.

Jakarta, Desember 2017 – Mei 2018

***

#katahatichallenge #katahatiproduction #harike-2

Catatan Pengarang: Cerpen ini saya gubah dalam rangka Tujuh Hari Menulis “Katahati Writing Challenge” yang diadakan oleh Kata Hati Kita Production.

Save

11 COMMENTS

  1. Sepertinya berat banget kalo jadi Personal Trainer ya, padahal orang memandang mereke selalu tampil sehat dan bugar. Ternyata di cerita ini, jam kerjanya lumayan panjang.

    • Iya, Mas. Pekerjaan yang cukup menuntut banyak dari pelakunya, tapi kerap dipandang sebelah mata.

      Terima kasih sudah menyempatkan diri mampir dan membaca artikel ini ya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here