Cerita Maria

Review The Architecture of Love: Hierarchy of Human Needs

Setiap bangunan memiliki cerita. Setiap wajah memalut kisah. Setiap detail yang dipaparkan Ika Natassa dalam The Architecture of Love (TAOL) mengajak pembaca untuk lebih dari sekadar berkeliling kota New York. Petualangan River dan Raia menyusuri The Big Apple adalah kisah pergumulan umat manusia yang jujur, terlepas dari status ekonomi dan sosial jiwa-jiwa yang tengah bergelut dengannya.

Judul : The Architecture of Love
Penulis : Ika Natassa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Cetakan Kesepuluh, 2021
Tebal : 304 halaman
ISBN : 978-602-03-2926-0

 

The Architecture of Love, Ika Natassa (2016)

Dalam The Architecture of Love, seorang penulis bernama Raia Risjad harus berhadapan dengan writer’s block setelah ditinggal pergi oleh muse kepenulisannya. Di tengah kegelisahan lantaran editor yang terus menagih naskah dan saldo tabungan yang semakin terkuras, Raia pun akhirnya memutuskan untuk pergi ke New York dan tinggal bersama Erin. Raia berharap tinggal bersama sahabatnya dapat membantu Raia menemukan wangsit untuk buku terbaru sekaligus menyembuhkan patah hati setelah bercerai dari Alam, high-school sweet heart Raia.

The funny thing is nobody ever really knows how much anybody is hurting. We could be standing next to somebody who is completely broken and we wouldn’t even know it. (hlm.76)

Laiknya pepatah lama, manusia hanya bisa merencanakan sementara takdir (atau Tuhan, ya?) yang akhirnya menentukan. Niat Raia mencari ide menulis justru mempertemukan dirinya dengan River, laki-laki yang lebih suka bercengkrama dengan buku sketsa ketimbang berada di tengah keramaian.

Laki-laki dengan beanie abu-abu gelap, kaus kaki berwarna hijau, dan sneakers cokelat sebagai signature style ini tengah asyik memandang kota New York dari kegelapan ruang ketika Raia tengah mencoba mencari tempat untuk menarik diri dari keramaian pesta malam tahun baru.

Entah  ketertarikan Raia dan River pada kesunyian atau karya seni yang akhirnya kembali mempertemukan mereka di Wallman Skating Rink sehari setelah pesta. Yang pasti petualangan mereka sebagai New Yorkers bermula dari pertemuan ini. Janji-janji temu yang lebih banyak dipenuhi dengan keheningan di antara River dan Raia serta kesibukan mereka masing-masing: Raia yang masih terus berusaha menulis dan River yang dengan lincah menuangkan arsitektur bangunan di hadapan ke buku sketsa yang selalu dalam genggaman.

Sketsa Lukisan karya River Jusuf, The Architecture of Love (2016)
Pertemuan yang tak disangka ini pada akhirnya berujung menjadi perjalanan dua muda mudi untuk berdamai dengan masa lalu.

Perjalanan selama tiga bulan yang tak hanya menyingkap sejarah arsitektur kota New York, tetapi juga membuka luka lama yang belum kering yang akan menentukan apakah mereka akan mampu melampaui masa lalu dan kembali berbahagia.

You know what is wrong about always searching for answers about something that happened in your past? It keeps you from looking forward. It distracts you from what’s in front of you, Ya. Your Future (hlm. 237)

Reading The Architecture of Love: A Traveling Experience to the City that Never Sleeps and the Heart at its Unease

Saat membaca The Architecture of Love, saya mendapati diri bernostalgia dengan kehidupan di San Francisco saat Ika menceritakan pertemuan pertama River dan Andara. Aroma khas Golden Boy Pizza, pemandangan sepanjang teluk San Francisco dari Golden Gate hingga Fisherman’s Wharf, sampai adegan bagaimana River pada akhirnya ‘nyerah’ ketika harus menemani berbelanja di Union Square. Semua itu digambarkan secara ringkas, namun cukup untuk membuat pembaca tengah berada di setiap adegan yang diceritakan.

Adegan River dan Raia menyusuri Central Park sampai ke West 59th Street untuk menikmati quick lunch di local café, berdiri di persimpangan Broadway and Fifth Avenue untuk menikmati kemegahan Falatiron Building, hingga memanjakan lidah di Shake Shack digarap sedemikian rupa hingga saya tergerak untuk meng-Google lokasi yang mereka singgahi. Dipadu dengan karakter River yang gemar berbagi tentang sejarah gedung-gedung yang mereka kunjungi, membaca The Architecture of Love serupa virtual tour yang mampu mengobati sedikit kerinduan saya untuk traveling di masa pandemi seperti saat ini.

The Architecture of Love, Ika Natassa (2016)
Kecerkasan Ika Natassa dalam mendeskripsikan rasa juga mampu menyeret saya ke dalam pusaran emosi River dan Raia.

Berikut ini adalah beberapa quote favorit saya.

Raia dan River tentang janji temu mereka (hlm. 96)

Suara hati Raia di hari terakhir kebersamaan mereka di New York ditemani Chocolate Peanut Butter S’mores dan segelas Riesling

Seperti digodam ketika kepala tengah pening dan hati terasa perih, ada bagian dari diri saya yang seolah terasa ngilu ketika membaca quote-quote tersebut.

Ika Natassa pun sangat piawai dalam membangun karakter para tokohnya dan patut diberi ancungan jempol.

Salah satu signature style River ternyata memiliki makna yang mendalam bagi River. Profesi penulis yang Raia pilih ternyata memiliki tujuan sendiri dalam buku ini.

“Mungkin beginilah nasib seorang Raia Risjad, selalu hanya jadi persinggahan, tidak pernah menjadi tujuan.” – The Architecture of Love, Ika Natassa (2016)

Narasi Raia dalam TAOL adalah eye-opener bagi pembaca bagaimana tuntutat sosial dilihat dari pandangan seorang perempuan kelas menengah ke atas. Pandangan yang kerap kita redam ketika dihadapkan dengan pergumulan pribadi lantaran takut dianggap tidak bersyukur atau tak bertanggung jawab. Padahal, setiap perasaan, siapapun pemangkunya, bahagia maupun rentan adalah sahih.

Baca juga: Lembaran Rindu dalam Secangkir Kenangan

Sekilas novel ini terlihat seperti novel pupuler/love fiction/young adults pada umumnya, namun semakin pembaca mengikuti perjalanan dan mendengarkan suara hati Raia, pembaca diajak untuk menyelami lautan emosi Raia ketika dihadapkan oleh stereotype tentang penulis, persepsi Raia akan dirinya sendiri yang hanya menjadi persinggahan dan tidak pernah menjadi tujuan (hlm.196), ataupun cibiran kerabat akan keputusan Raia: seorang Sarjana Ekonomi yang memutuskan untuk menelantarkan gelarnya untuk menjadi penulis fiksi dan kini tengah menjanda.

“Semua keputusan yang Yaya ambil… belakangan ini atau kemarin-kemarin … Mamaw dan Papaw sudah mahal-mahal membiayai kuliah finance Yaya tapi kemudian sia-sa karena Yaya ternyata memutuskan untuk nggak kerja kantoran dan cuma menulis. Lalu keputusan Yaya untuk bercerai… iya memang Alam yang menuntut cerai, tapi Yaya juga menerima dan sekarang anak Mamaw satu-satunya ini jadi janda. Semua itu, Mamaw pernah kecewa sama Yaya?” Raia meluapkan semuanya (hlm. 253).

Ika Natassa: Gaya Hidup Hedon dan Kebutuhan Hidup

Sebelum saya menggarap ulasan ini, saya sempat dipertemukan dengan tanggapan teman-teman pembaca lainnya. Sering kali, para pembaca menyayangkan pemaparan gaya hidup tokoh-tokoh dalam novel Ika Natassa yang dianggap mengamini gaya hidup berlebih (hedonisme).

Mengutip KBBI, hedonisme adalah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Hedonisme disebabkan oleh sifat dasar manusia yang ingin mencari kesenangan. Bagi kaum menengah ke atas, yang kerap menjadi tokoh utama dalam novel Ika, kesenangan umumnya didapat dari berbelanja barang-barang mewah dan menikmati hidangan dengan fasilitas bintang lima. Hal ini tentu tak luput dari adanya faktor eksternal seperti arus globalisasi. Kebiasaan ataupun paham dari mancanegara terkait cara bersenang-senang pun dengan mudah diadaptasi menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia.

The Architecture of Love: Hierarchy of Human Needs

Namun yang kerap luput dari pengamatan adalah hierarki kebutuhan yang hendak dicapai oleh kaum menengah ke atas yang menjadi tokoh utama dalam novel Ika. Menurut Abraham Maslow dalam teori hierarki kebutuhan, ada lima golongan kebutuhan manusia, yakni:

  1. Kebutuhan fisiologis atau dasar
  2. Kebutuhan akan rasa aman
  3. Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
  4. Kebutuhan untuk dihargai
  5. Kebutuhan untuk aktualisasi diri

Kebutuhan fisilogis atau dasaar serta kebutuhan akan rasa aman pada umumnya telah terpenuhi bagi Raia dan River serta kebanyakan tokoh-tokoh dalam novel Ika. Kebanyakan dari mereka adalah eksekutif muda dan telah mapan secara finansial. Raia adalah penulis fiksi yang karyanya selalu menjadi best-seller dan kuota Pre-Order yang selalu penuh dalam hitungan jam, sementara River adalah seorang seorang arsitek sekaligus pelaku usaha yang kinerjanya telah diakui oleh kancah nasional dan mancanegara.

Menurut hierarki Maslow, saat dua kebutuhan awal sudah terpenuhi, hajat untuk disayangi pun timbul. Kalau boleh mengutip Paul, sahabat River dalam TAOL, dicintai itu menyenangkan. Tak heran jika Ika sering mengangkat petualangan cinta dan isu self-esteem menjadi konflik dalam novel-novelnya. Dua topik yang tak pernah lelah mengisi perbincangan dan curahan hidup warga eksekutif kantoran, warga yang suara dan keluh kesahnya hendak disuarakan oleh Ika. Gaya hidup, berbicara, dan bersosialisai yang lavish menjadi perlu untuk membuat tokoh-tokoh ini realistis sdan hidup.

“Cinta memang terlalu penting untuk diserahkan pada takdir, tapi segigih apa pun kita memperjuangkan, tidak ada yang bisa melawan takdir.” – The Architecture of Love, Ika Natassa (2016)

Baca juga: Seni Membangun Cerita

Kegelisahan Tak Hanya Suka Mengunjungi Kaum Papa. Ia Kerap Berkelindan di Tengah Gaya Hidup Hedon Orang Berada.

Sepanjang buku ini pembaca akan dihadapkan dengan kegelisahan seorang penulis (yang tak kunjung menemukan wangsit) menyusuri kemegahan arsitektur New York, kegagalan seseorang untuk memaafkan diri sendiri yang terlontar dalam percakapan bilingual (bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris), dan segelas Riesling untuk membasuh insecurity tatkala pasangan hidup selingkuh.

Layaknya berpartisipasi dalam virtual tour, pengalaman ini harus menemui titik akhir. Saat tengah membaca kalimat terakhir dalam cerita ini, saya tersenyum kecil sembari mengangguk-angguk. Ika memang gemar membiarkan imajinasi pembaca terbang bebas menginterpretasikan akhir dari kisah tokoh-tokohnya. Saya harap rencana The Architecture of Love diangkat ke layar lebar segera terealisasi dan para pemmbaca bisa menyaksikan secara langsung kisah Ibu Hari Raia dan Bapak Sungai.

Jakarta, Agustus 2021

***

Tentang Ika Natassa:

Ika Natassa adalah seorang banker dengan hobi menulis dan fotografi. Diterbitkan pertama kali pada tahun 2016, The Architecture of Love adalah novel kedelapan Ika. Novel Ika lainnya yang telah beredar antara lain:

  1. A Very Yuppy Wedding (2007)
  2. Divortiare (2008)
  3. Underground (2010)
  4. Antologi Rasa (2011)
  5. Twivortiare (2012)
  6. Twivortiare 2 (2014)
  7. Critical Eleven (2015)

Sumber: Goodreads.com dan Wikipedia.org

Exit mobile version