Cerita Maria

Puisi Jalanan

Pekerja Jalanan

Puisi ini lahir di atas jembatan penyeberangan,
pada penghujung Jalan Sudirman,
di antara gedung hotel berbintang,
dengan lampunya yang gemerlapan.

Para pekerja yang handal dan nampak kusam,
tengah terbungkus peluh dan debu jalanan.
Sebab keluh kesah kita siap menghantam,
tatkala mereka terlambat menghantar penerangan.

Para pekerja menanggalkan rasa takut,
meninggalkan jubah ragu pada jalan beraspal.
Merapal doa dengan sahut menyahut,
agar pengendara dan pejalan tak datang bersama pasukan pencabut nyawa.

Para pekerja yang aneh, tak tampak sedikit pun raut cemberut.
Jemari dan jiwanya yang terpaut pada tiang besi tanpa penyanggah,
memancarkan senyum yang sumarah ketika tatapan lensa menyapa.
Mereka seperti lupa pada maut yang siap menjemput.

Aku tengah asyik menatap potret ketangguhan, ketika terbersit tanya pada seroman wajah: “Kok malah kami yang dipoto, Mbak?”
Karena kalian adalah cahaya yang telah mencerahkan pandanganku.
Menyingkap tabir dosa yang kerap mengabaikan jasa dan keberadaanmu.

Semoga puisi ini bisa menjadi secercah rasa terima kasihku,
dan juga permohonan maafku.
Kepada mereka yang tak pernah ragu menantang maut,
agar kami semua dapat senantiasa menjalani hidup.

***

Baca juga: Pho(ne)tography – Fotografi dengan Menggunakan Ponsel Pintar

Panggung Jalanan

Sejak kecil aku gandrungi jembatan,
Bukan karena aku penggemar ketinggian,
tetapi karena di sana dendang hati berkumandang,
dan tarian hidup dipentaskan.

Rambut semraut dan raut lusuh tak pernah membuatku takut.
Apalagi sekadar kulit legam yang terpanggang harapan.
Walau nada sumbang kerap terlontarkan,
lantaran hidup tak semudah khotbah Pak Teguh.

Suatu malam, kudengar alunan alat musik calung
mengiringi seseorang yang tengah larut dalam gerakan tayub.
“Ada acara apa di bawah situ?”
Seorang Pakli tengah menyambang hidup.

Ah, manusia-manusia tangguh,
yang tak malu bermandi peluh.
Bertayub dan bersenandung di atas panggung penuh debu.
Semoga hasil ngamen ini sepenuhnya untukmu
(tanpa ada setoran yang harus kau tanggung).

***

Becak Mau ‘Jalan’

Teknologi berkembang cepat
Peradaban manusia lekas beranjak.
Sekarang siapa lagi yang sudi naik becak?

Sebentar! Masih ada becak di sini?
Masih dan becak telah berevolusi.
Pemiliknya juga melek teknologi.

Becak kayuh menjelma becak mesin,
tapi sepertinya kamu tengsin.
Ketemu pacar dengan aroma anyir ikan asin.

Akhirnya, kamu nge-Grab aja.
Paklik pemilik becak hanya beroleh tepisan belaka.
Lagian harganya juga ndak jauh beda, kau berkata.

Tapi kan Paklik itu butuh nafkah.
Kenapa ndak nge-Grab aja, kau berkilah.
Tak semua orang diberkahi gawai pintar, sepertinya kau lengah.

Mereka hanya cukup cakap untuk memperbarui becaknya.
Dan sumarah kepada kersaning zaman setelahnya.
Sementara kau gagal paham, saat mereka tengah berusaha dalam ketinggalannya.

Teknologi memang berkembang, kerap.
Kemanusiaan pun perlahan lesap.
Manusia yang ditinggalkan mulai mengayuh resah.
Untuk kemudian hilang dan menjelma laman sejarah.

Masih sudi naik becak?

***

Jakarta – Yogyakarta, Januari – Agustus 2018

***

Save

Save

Save

Save

Save

Save

Save

Exit mobile version