
Source: Koleksi Pribadi
Aku tumbuh di tanah yang kaya raya. Sebuah negara di mana aroma rempahnya mampu menghipnotis warga dari benua seberang untuk menetap di sini. Sebuah ranah di mana kehangatan perairannya membuat beragam hewan dan tumbuhan begitu kerasan untuk berlama-lama. Sebuah tanah yang penuh dengan gemerlap logam yang mempesona mata, tetapi hanya mampu menjadi potensi investasi belaka.
Pada satu penghujung minggu, aku merasakan degup jantungku yang kian menggebu dan aliran darahku yang terburu-buru. Dari balik kaca Elf, nampak putri duyung berdada penuh tengah tersenyum ke arahku. Sayangnya, ia tak pernah sendiri. Kolonel Sander yang murah senyum dan seekor beruang tambun selalu setia menemani. Wajah mereka nampak terbang dari satu rest area ke rest area lain. Menebarkan aroma biji kopi bernuansa cedar serta citarasa gurih dada ayam lembut yang berbalur merica dan cabai rawit. Suatu mandala yang begitu akrab, akan tetapi selalu menggetarkan sekujur tubuh seiring laju mobil Elf yang berpacu dengan tenggat waktu.
Rombonganku dijadwalkan untuk tiba di Cisurupan sejam selepas subuh. Namun, ekspektasi penanam modal telah menjelma serdadu koloni yang memaksa kami untuk bekerja rodi. Kami tiba di tempat pertemuan melewati jam yang telah disepakati. Kini, aku dan peserta lainnya hanya bisa pasrah saat Elf melaju dengan kecepatan penuh menuju Garut, di mana aku akan bercengkerama dengan Ibu Pertiwi.
Sudah lama aku tak meluangkan waktu bersamanya. Sejumlah proyek kantor telah menyita seluruh perhatianku, sementara serangkaian rapat dan notula menghujaniku tanpa mengenal waktu. Menyisakan aku yang telah lisut untuk menatap wajah Ibu Pertiwi dengan murung dan penuh gerutu.
Malam itu, saat Elf melaju dan mengantarku pada rengkuhannya, aku menyadari betapa durhakanya aku. Seketika, secercah ragu menyergap. Masih sudikah beliau menerima kedatanganku?
Aku segera menampik keraguan itu. Di hadapanku tampak kepulan asap di antara dinding Kawah Papandayan yang tertimpa sinar matahari. Memijarkan kilau keemasan yang mempesona mata.

Source: Koleksi Pribadi
Imajinasiku seketika melayang pada misa Jumat Pertama. Kepulan asap dengan harum dupa menyembul saat Romo mempersembahkan Hati Kudus Yesus yang tersimpan dalam monstrans. Hati yang kerap dihina oleh dosa-dosa manusia, dosa-dosaku juga. Hati yang Mahakudus dan penuh kasih itu tak pernah jera untuk menerimaku kembali. Seperti Ibu Pertiwi yang kini berdiri teguh menyambut kedatanganku dengan tangan terbuka dan senyum yang begitu hangat. Tanpa pagar kelabu yang menjulang dengan angkuh seperti yang kerap kulihat pada sela-sela kesibukanku.
“Kita doa bersama lalu memulai pendakian yah.” Ucapan pemimpin rombongan itu membawaku kembali pada kesadaran.
Aku bisa merasakan angin lembah yang sejuk mengiringi pendakian. Tanpa bau sangit tubuh yang menyimpan pilu, ataupun asap tembakau dari mulut yang parau. Guratan sinar matahari terasa begitu hangat. Tak ada sedikitpun kesan tamak. Sungguh ganjil. Aku merasa begitu tenteram di sini. Di sebuah ranah asing. Di antara lautan manusia yang tak kukenal. Di antara batu vulkanik aneka warna yang berserakan. Di antara suara letupan yang menguarkan suka cita atas kedatanganku. Laksana orang tua yang tengah menanti kelahiran buah hatinya.
Aku mendekati tempat letupan itu berasal. Bekas aliran letusan gunung menjelma lubang-lubang yang mengeluarkan gas sulfatara. Keserakahan kaum urban sepertiku yang terus menggerus lahan hijau dan meningkatkan suhu bumi memang membuat Ibu Pertiwi cemas dan bergejolak. Letusan kecil yang kerap dikuarkan kawah ini adalah tanda kegelisahannya (mungkin juga amarah). Akan tetapi di tengah balada kekecewaannya sekalipun, beliau tak henti-hentinya menghasilkan sumber alam yang bermanfaat. Entah untuk kesehatan pribadi ataupun kebutuhan industri.
Diriku luluh. Memiliki preferensi terhadap lingkungan kerja ataupun merek suatu produk adalah satu hal. Mengejek Ibu Pertiwi yang tampak renyek setelah bertahun-tahun memanen gizi dan mengais rezeki di tanah ini sangatlah keji.
Tubuhku lunglai laksana dahan yang terlepas dari akarnya. Aroma gas sulfatara memang begitu menyiksa indra penciuman. Namun perasaan bersalah yang tengah menghantam, melemahkan segenap saraf kakiku.
Akan tetapi, aku tetap melanjutkan pendakian. Tak ada kata lelah untuk bercengkerama dengan Ibu Pertiwi. Seperti beliau yang tak jemu membantuku ketika jalur pendakian semakin curam. Batang-batang pohon cantigi yang kokoh siap menopang. Hembusan angin lembah membasuh kepayahan. Gugus tanaman edelweiss berdiri tegar mendengungkan semangat. Menghantarku pada hamparan Hutan Mati yang begitu luas.
Aku pernah membaca tentang Hutan Mati dari artikel yang tersebar online. Tentang sejarah terbentuknya yang suram dan memakan korban. Letusan Gunung Papandayan telah membakar habis sejumlah desa dan menewaskan ribuan jiwa. Menyisakan ratusan batang pohon cantigi yang tertutup debu putih, layaknya butir salju yang menghiasi musim dingin di luar negeri.

Source: Koleksi Pribadi
Aku bisa merasakan kesedihan yang begitu mendalam. Meluapkan gemeratak amarah yang begitu hebat. Aku telah lama dibuat tuli oleh kehidupan modern yang mengajakku untuk bertualang ke dunia luar. Terlena dengan gairah dan gemerlap mancanegara. Tak urung untuk menggugat ketika terik matahari, bau asap rokok dan knalpot, serta aroma sangit kaum pekerja menabrak indra penciuman. Aku, seperti kebanyakan kaum urban, hanyalah perpanjangan tangan penanam modal belaka.
Aku terharu. Laksana Hati Kudus Yesus, Ibu Pertiwi tak kunjung hilang harapan dan semangat kepadaku. Dalam gejolak amarahnya sekalipun, beliau masih sempat menyisakan batang pohon kokoh yang siaga menopang tatkala lelah menerjang. Tak seperti para penanam modal yang hanya ingin menjadikan negeri ini jajahannya. Seperti putri duyung berdada penuh itu, jelita yang hanya sudi berkawankan sinyo londo berjenama Sanders, Allen dan Wright. Baginya, anak jati sepertiku hanyalah serdadu krocuk yang menyokong khazanahnya. Mereka tak sudi mendekatkan diri denganku. Pagar tinggi menjulang nan angkuh dipancang tinggi menjulang. Bahkan, mereka tak ragu untuk beringsut pergi (dan mengerdilkan jiwa bangsa kami) setelah tak ada yang dapat digerus lagi.
Malam ini, setelah matahari terbenam, raga telah rebah pada tanah dan jiwa melekat pada akar. Angin gunung mulai berdengung. Menghembuskan kasih yang begitu murni, seperti kasihku kini pada Ibu Pertiwi. Kasih yang telah lama pergi, namun terlahir kembali. Dan dahan yang nyaris hilang, kini telah menemukan arah pulang.
Aku tak ingin Elf itu membawaku kembali.
Jakarta, September 2016
***
Catatan Pengarang: Terima Kasih kepada rekan-rekan Wisata Gunung yang telah menyertai saya dalam Pendakian Gunung Papandayan pada tanggal 26-28 Agustus 2016 lalu. Karya fiksi gunung lainnya yang terinspirasi dari perjalanan saya bersama Wisata Gunung adalah “Surat Untuk Baskoro” dan bisa Anda nikmati dengan mengunjungi tautan ini. Selamat menikmati!
Aku harus berkomentar apa?. Suka sama setiap deskripsimu. Sungguh.
Makasyih ☺️
[…] saya bersama Wisata Gunung adalah “PERTIWI” dan bisa Anda nikmati dengan mengunjungi tautan ini. Selamat […]
[…] saya bersama Wisata Gunung adalah “PERTIWI” dan bisa Anda nikmati dengan mengunjungi tautan ini. Selamat […]
[…] saya bersama Wisata Gunung adalah “PERTIWI” dan bisa Anda nikmati dengan mengunjungi tautan ini. Selamat […]