Aku tak pernah tahu siapa hukum yang mereka maksud. Otakku yang masih berusia tujuh tahun hanya tahu hukum sebagai sebuah akibat jika aku melanggar peraturan. Para guru di sekolah dan orang tua biasanya akan menyebut kata hukum, dihukum, ataupun hukuman dengan suara yang lantang. Penuh kuasa.
Akan tetapi, hukum yang sering dibicarakan Bapak dan Biyung[1] beberapa bulan terakhir terkesan berbeda. Pertama kali Biyung menyebutkan namanya, suara Biyung begitu lemah, sementara Bapak selalu mengucapkannya dengan nada gusar. Namun, tanpa daya.
“Apalah arti kita di hadapan hukum yang saklek itu, Mas?” dari balik bilik dapur, suara Biyung terdengar semakin sayup. Terdesak kesiur angin kering dan gemuruh daun pepohonan yang bergoyang.
Bapak tak langsung menjawab. Ia malah mengisap kereteknya dalam-dalam, lalu mengembuskan gumpalan asap putih yang segera terbang menuju langit senja. Akan tetapi, kegeraman Bapak sepertinya masih tinggal.
“Tanah ini warisan keluarga, Sum. Hanya ini yang tersisa dari Mbah.”
Nyawanya hilang demi mempertahankan sawah-sawah keluarga kita di tempat lain. Sudah lupa kau dengan peristiwa itu? Bapakku pun harus terus dikejar aparat hukum demi mempertahankan sawah terakhir ini.”
“Eling, Mas,” nada bicara Biyung mulai meninggi, “Mas mau berakhir seperti Bapak dan Mbah? Ilham masih kecil, Mas. Dia butuh bapaknya. Apa Mas tega membiarkan dia merasakan getirnya hidup sebagai anak nara–?” tiba-tiba Biyung menghentikan ucapannya. Sepertinya, ada yang datang.
Aku bergegas membawakan dua gelas teh hangat untuk Bapak dan Biyung. Dugaanku benar. Dua orang laki-laki dewasa berjalan mendekati rumah kami. Salah satunya berbadan tegap dengan potongan rambut cepak. Sepatunya hitam mengilap. Apakah dia yang bernama hukum? Atau malah temannya yang gembul, berkepala botak, dan tengah memilin kumis itu yang bernama hukum?
“Bawakan dua lagi untuk tamu yang baru datang,” ujar Bapak. Aku menurut dan segera kembali ke dapur.
Biyung segera menyusulku. Wajahnya masih memendam kemarahan. Sinar matahari yang menyusup dari celah dinding anyaman menyoroti raut sayu dan mata kuyu Biyung.
“Biar Yung saja. Ini obrolan orang dewasa!”
Suara Biyung membuyarkan lamunanku. Sepasang tangannya yang sigap segera meraih dua gelas dari genggamanku dan meletakkan gelas-gelas berisi teh hangat itu di atas baki.
Aku terkesiap. Saat itu, aku jadi semakin ingin tahu seperti apa hukum itu. Mengapa hanya karena hukum, Biyung yang sabar bisa meninggikan suara? Mengapa hanya karena hukum, bapakku yang tegar kini terlihat gentar?
Perlahan-lahan, kulangkahkan kaki. Aku tak ingin gerak-gerikku menimbulkan bunyi apa pun. Kubuka telinga lebar-lebar agar seluruh percakapan mereka bisa kudengar.
“Semua ini demi kebaikan bersama, Pak Warsito. Nanti kalau pabriknya sudah jadi, Pak Warsito juga yang merasakan manfaatnya, toh?” kudengar si gembul berbicara kepada Bapak.
“Enak kepriye, Pak? Sekarang kalau saya dan keluarga mau makan, ya, tinggal metik dari tanah sendiri. Mau mandi dan minum, tinggal menimba dari sumur belakang rumah. Airnya masih bening. Bersih. Lha, seandainya lahan itu dijadikan pabrik, gimana saya mau makan? Butuh air bersih, harus jalan lima kilo dulu untuk mbeli. Air dekat sini pasti kotor karena buangan pabrik.”

“Ini sudah jadi ketentuan, Pak Warsito. Kalau Sampeyan masih memaksa untuk mempertahankan sawah, itu sama saja melawan hukum,” melalui lubang yang tersebar pada dinding gedek, aku bisa melihat raut wajah bapak yang memerah.
“Apa hati kalian masih berfungsi?”
Bapak bertanya sembari menunjukkan jari ke dada si gembul.
Biyung segera memegang lengan Bapak. Apalagi, kulihat Bapak sudah bangkit berdiri dan hendak bergerak mendekati si gembul. Seketika, aku menjauhi tempatku mencuri dengar pembicaraan mereka.
“Pak Warsito…” si cepak mulai berbicara. Suaranya rendah, tetapi penuh tekanan, “Saya dan Pak Jarwo hanya menjalankan tugas,” si cepak melanjutkan kalimatnya. Ah, pasti si cepak ini adalah hukum! Nada bicaranya penuh kuasa seperti para guru dan orang tua yang tengah menghukum anak-anak yang nakal.
“Kami juga ingin mengingatkan tentang status Saudara ini. Kami tahu siapa Saudara. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan!” kali ini nada suara si cepak seperti sedang mengancam Bapak.
Ucapan si cepak itu tak mendapatkan balasan sepatah kata pun dari Bapak. Hanya suara azan yang menyuruh mereka segera pergi.
“Coba Pak Warsito sembahyang terlebih dahulu. Bertawakal, Pak. Saya dan Pak Bimo mohon pamit,” ujar si gembul sebelum kedua orang itu akhirnya meninggalkan rumah kami.
Ternyata, tak satu pun dari mereka adalah hukum.
Namun sejak saat itu, nama hukum selalu disebut-sebut hampir di setiap waktu. Saat pagi sebelum Bapak dan Biyung pergi bertani, ketika mereka sedang beristirahat di dipan, bahkan saat tengah malam dalam igauan Bapak.
Nama hukum pernah beberapa kali Bapak sebut-sebut di dalam tidur, “Aku akan pergi mencari hukum. Ini tidak adil! Mereka tak bisa seenaknya mengambil sawah kami. Ini pencurian!” Bapak mengigau lagi pada suatu malam. Seperti yang sudah-sudah, aku biarkan saja Bapak dengan ceracaunya. Toh, Biyung juga akan menyuruhku kembali tidur jika aku mendekati mereka. Namun entah kenapa, malam itu aku tak bisa kembali tertidur. Kata-kata Bapak tentang sawah keluarga dan hukum yang katanya tidak adil, terus terngiang di kepala hingga azan Subuh berkumandang. Untuk pertama kalinya, aku bergadang.
Dan malam pertama aku bergadang itu adalah malam terakhirku bersama Bapak.
Pagi harinya, Bapak pamit meninggalkan aku dan Biyung. Bapak bilang, Bapak ingin mencari hukum. Aku hanya mengangguk meskipun aku masih tidak mengerti. Sawah yang dicuri, kok hukum yang dicari-cari.
Sejak kepergian Bapak, Biyung pergi menggarap sawah seorang diri. Pergi pada Senin pagi dan baru kembali setelah beberapa hari. Katanya, Biyung ingin sekalian melihat keadaan pabrik di desa seberang dan mencoba beberapa pekerjaan. Jaga-jaga kalau sawah kami diambil dan keluarga ini tak bisa menggantungkan hidup dari hasil sawah lagi.
Aku dibiarkan sendirian di rumah. Aku sungguh rindu Bapak dan Biyung. Walaupun aku sebenarnya sudah terbiasa sendiri, aku sulit tidur tanpa mendengarkan Biyung menembang atau Bapak bercerita. Sayang, aku tak pernah mampu berbagi rindu dengan siapa pun di kampung ini.
Orang-orang kampungku pernah mengatakan bahwa keluargaku adalah keluarga penjahat. Anak-anak dilarang orang tua mereka untuk bermain bersamaku. Katanya, aku ini musuh hukum. Bermain denganku berarti bermusuhan dengan hukum.
Yang berani berbicara kepada kami hanyalah Pak Yono, si Kepala Kampung. Ia pernah beberapa kali menyambangi orang tuaku di halaman. Suatu hari, Pak Yono datang mencari Biyung yang tak akan pulang sore itu. Kusampaikan tentang sepi dan rinduku kepada Pak Yono. Kudengar dari omongan orang-orang dewasa, salah satu pekerjaan kepala kampung adalah mendengarkan keluh kesah warga, termasuk anak-anak pastinya.
Sial! Dugaanku salah. Pak Yono malah memarahiku yang telah lancang menambah beban pekerjaannya, “Kamu sama saja dengan bapak dan kakekmu. Suka cari masalah dan tak tahu diuntung. Sudah bagus masih diizinkan bekerja menjadi kuli dalam pembangunan itu dan menjadi buruh pabrik, malah sok jagoan mau melawan hukum!” Pak Yono pun akhirnya pergi.
Aku semakin bingung.
Yang dilakukan Mbah dan Bapak hanyalah mempertahankan sawah keluarga. Apa yang salah dengan mempertahankan sawah? Di sekolah, aku pernah dengar kalau negara ini negara pertanian, tetapi kok mau menjadi petani saja sulit begini? Mbah malah mati ditembak karena ingin terus hidup sebagai petani di sawahnya sendiri. Sekarang, Bapak diancam karena menolak menyerahkan sawahnya untuk pembangunan pabrik, padahal lahan sawah sudah semakin sempit. Tetangga yang tadinya petani pun mulai bekerja menjadi kuli atau menjadi buruh pabrik. Benar juga kata Bapak, tanpa sawah, mau makan apa kita nanti?
Baca Juga: Secuil Kisah Di Mahameru
Aku juga semakin penasaran siapa sebenarnya hukum ini. Mengapa ia begitu menakutkan dan sepertinya sulit sekali bagi orang-orang desa seperti kami untuk berhubungan dengannya? Bapak pun harus pergi meninggalkanku dan Biyung agar dapat bertemu dengan hukum.
Aku juga sedih melihat Biyung yang harus berjuang sendiri menghidupi dirinya dan aku. Kadang di sela-sela kesibukannya, ia berpesan agar aku terus belajar dengan rajin supaya aku mampu melawan hukum.
Selama ini, aku hanya mengiakan semua perkataannya. Aku tak sanggup menambah garis kerut dan bercak hitam pada wajah Biyung yang tampak letih. Terlebih setelah Bapak pergi. Walaupun aku sendiri sebenarnya tak yakin apakah aku mampu menghadapi hukum. Bapakku yang begitu kuat melawan sengatan sinar matahari sepanjang tahun saja tak mampu melawan hukum. Apalagi aku yang hanya mampu bertahan beberapa jam terjerang panas matahari sebelum akhirnya aku tak sadarkan diri.
Aku bilang Bapak tak mampu melawan hukum karena pagi ini Bapak akhirnya tiba di rumah dengan sebuah keranda.
Di antara tangis Biyung dan riuh suara tetangga, kudengar bisik-bisik bahwa Bapak terkena peluru petugas hukum saat ia tengah memaksa untuk bertemu dengan hukum. Sementara sepasang mataku menangkap sosok Pak Yono, si cepak, dan si gembul tengah mengamati halaman rumah kami sambil tersenyum.
Jakarta, Juni 2018 – Juli 2019
***
Catatan Narablog: Cerita ini saya anggit dalam rangka penerapan ilmu yang saya dapatkan dari pelatihan menulis Kelas Cerpen Kompas yang diadakan oleh Harian Kompas.
[1] Biyung (bahasa Jawa) = ibu
akhh aku terhanyut. Sambil membayangkan seorang sahabatku yg memiliki cerita serupa tp tak sama. Namun pikiranku pun sama.. kenapa dinegara pertanian menjadi petani itu sulit. Apik banget mba
Miris ya, Kak. Kalau lahan sawah sudah jadi gedung semua, masa iya kita kudu makan beton. =(
Waah, cerpen kelas berat, cerpen serius nih, berkaitan dengan hukum dan impliksinya pada berbaga laapisan masyarakat ya mba. Aku sebenarnya suka nulis cerpen, akhir-akhir ini merasa kurang membaca, beulm PD lagi
Ayo kak, semangat lagi menulis cerpen. Biar dunia blogging semakin kaya dalam ragam tulisan =)
Mbaaaa, aku nelangsa banget bacanyaaaa
Cerpen ini sukses membetot atensi dan hati pembaca, mba
Terima kasih sudah sudi mampir dan membaca artikel ini yah, Mbak.
WOALAH MBAAKK!! AREP TAK TUGELIN ITU NDASE PAKYONO CEPAK DAN GEMBUL!!!😤😤😤
Hahahahahaha. Terima kasih sudah mampir ya, Mbak.
Ini seperti wilayah hutan daerahku yang dijadikan pabrik, Kak Mar. Masyarakat yang menolak seakan menjadi musuh hukum. Sedih banget aku bacanya, kak..
Kenyataan pahit yang memang sering terjadi di negeri kita ya, Kak. Kasihan, mereka.
cerita di cerpen ini kyanya emang banyak terjadi di masyarakat, banyak masyarakat yg terpaksa jual lahan demi “modernisasi” atau pembangunan
Keren sih ka… Sampe terbawa suasana gitu. ceritanya suka… 😊
Terima kasih sudah mampir ya, Kak.
Demi ‘masa depan yang lebih baik’ katanya. 🙁
Kebawa nih sama cerpennya. Udah deh dibukuin aja hehe…
Thank you, Kak Daus.
Cerpennya bagus. Plotnya sudah tampak, pengen belajar nulis cerpen kayak “Mencari Hukum”. Bolehlah nanti kak Maria isi QT di group
Terima kasih, Mas Taumy.
Duh ini pengalaman saya sendiri juga nih saat ini. Sawah depan rumah sudah diukur, hendak dibuat kavling. Kami tidak bisa bagaimana karena mereka lebih berkuasa.
Saya jadi sering bertanya, lalu lahan pertanian ini tanggung jawab siapa ya?
Sebenarnya ini pertanyaan yang macam ayam sama telur. Banyak penduduk yang tinggal di daerah terpencil kan nggak punya surat-surat, a. Namun, leluhur mereka sudah lama di situ, terus tiba-tiba negara datang mengklaim itu milik negara. Bingung, kan?!
Mbak, keren banget bisa menangkap kondisi saat ini dan menuangkan dengan apik dalam rangkaian kata yang mengalir. Salut mbak
Terima kasih, Kak Aya.
sedihnya.. walaupun misalnya pelanggar hukum, tetap sebenarnya setiap warga itu berhak mendapatkan penghidupan yang layak kan, ya. Setidaknya kebutuhan primer terpenuhi. Kalau mendapatkan air bersih saja sulit? Ah…
Sebenarnya ini kasusyang macam ayam sama telur. Gak ada ujungnya… Banyak penduduk yang tinggal di daerah terpencil kan nggak punya surat-surat, a. Namun, leluhur mereka sudah lama di situ, terus tiba-tiba negara datang mengklaim itu milik negara. Bingung, kan?!
sedihnya.. walaupun misalnya pelanggar hukum, tetap sebenarnya setiap warga itu berhak mendapatkan penghidupan yang layak kan, ya. Setidaknya kebutuhan primer terpenuhi. Kalau mendapatkan air bersih saja sulit? Ah…
Duh…ikut sesak dada membaca kisah ini.. selalu ada pihak2 yg terpinggirkan atas nama kuasa atau dalam cerita ini hukum.. hiks..
‘Demi kebaikan bersama’ katanya. :-\
Keren mba.. emosi ku ikut terbawa saat baca cerpen ini.. bener nih mesti isi QT di group mba..
Terima kasih sudah sudi mampir dan membaca artikel ini, ya.
Ide ceritanya umum, namun dituturkan dengan cara yang sangat menyentuh, pilihan kata yang terjaga dan logika yang pas oleh Kak Maria. Keren bangetlah kak. Lalu, dimana kita mencari ‘hukum’ , kak?
Terima kasih sudah selalu suportif yah, Mbak.
terinsipirasi dari banyak kejadian serupa di dunia nyata ya mba..aku sedih dan juga geram kalua membaca kasus seperti ini
Ngomongin masalah hukum, sudah ada. Lembaga Bantuan Hukum yang bisa menjadi sandaran untuk orang-orang seperti tokoh Bapak dan Biyung.
Betul, Mas Ris. PR mereka masih banyak!
Iya, Mbak Indah. Saya memang terinspirasi dari fenomena saat ini.
Cerpennya seperti kisah nyata yang terjadi di jaman sekarang, banyak lahan2 yang dijadikan pabrik, mall, bandara,dll. Ceritanya menarik kak
Terima kasih sudah berkunjung kemari dan membaca cerita ini ya, Kak.
eh aku penasaran jadi Bapaknya Biyung ini gimana sih? punya permasalahan hukum apa gimana ya?
Baca lagi, dong?! =)
Maria orang Jawa? Penggambarannya pas, mulai dari panggilan Biyung, itu panggilan ibu yang udah kuno banget
Inggih, Mas Achi.
seperti biasa tulisannya cerdas, meski tema spt ini sudah banyak tetep gak bosen membacanya.
Terima kasih, Bang Eka!
Aduh biyuunggg keren ceritanya, tp penasaran dengan si hukum. Ada apa dengan hukum..
Hukum i itu….. isi sendiri … =)
Rangkaian katanya bagus-bagus deh mbak, aku membacanya sampai ikut terbawa ke dalamnya. Apalagi berkaitan dengan hukum yang memang sering “tidak adil” bagi orang kecil.
Terima kasih ya, Kasdk Helena.
Cerpen dibarengi dengan foto2 real jadi terasa semakin nyata. Kuasa dan hukum, merampas hak orang2 yang berhak. Aah sedih akutuh bacanya, ngesek. Apalagi cerita ini bukan hal yg ga biasa, tapi biasa banget terjadi. 😢
Cerita ini memang terinspirasi dari kisah nyata, Kak. Terima kasih sudah mampir, ya.
Cerpen ini mengangkat problematika hidup saat ini dengan baik. Ketika keadilan tak lagi memihak 🙁
Terima kasih, Kak.
Aaaak aku sedih! eh tapi sawahnya itu memang sah milik si bapak atau gimana? ah lagi-lagi sah secara hukum atau gak. Si anak bingunglah siapa sih “hukum” itu sampai membuat keluarganya menderita 🙁
Pak Yono sama aja dengan 2 orang itu ya ternyata. Walaupun ini fiksi cerita macam ini di kehidupan real ada mbak. Orang-orang yang mempertahankan miliknya malah jadi korban kekerasan
Sebenarnya ini pertanyaan yang macam ayam sama telur. Banyak penduduk yang tinggal di daerah terpencil kan nggak punya surat-surat, a. Namun, leluhur mereka sudah lama di situ, terus tiba-tiba negara datang mengklaim itu milik negara. Bingung, kan?!
Cerita yang keren sekali Mbak. Idenya sederhanan saja tentang hukum tapi dikemas begitu menarik, sampai-sampai larut membacanya dari kalimat awal hingga akhir. Btw pesannya juga nangkep banget. Menyoroti keadaan yang bahkan sampai sekarang pun masih ada ya. Nasib kaum kecil., gampang tertindas oleh yang namanya hukum.
Terima kasih sudah mampir ya, Kak.
Hukum manusia memang begitu ya tak pernah bisa adil. Hanya hukum Tuhan saja yg bs adil..
Iya, Mbak Ida. Setuju!
Nyess banget pas tau kena peluru huhuhu dan masalah kaya gini tuh sebenarnya banyak ya tapi ga ke ekspose aja.
Mereka memilih bungkam ketimbang dianggap musuh negara, Mbak.
Wah, aku kebawa emosi banget nih bacanya. Malahan jadi ikutan sedih, kenapa bapak pulang dengan keranda? Hiks. Mbok yah dibikin hepi ending aja toh mbak *anaknya suka maksa pengen semua bahagia hehe*
Hahahahahaha. Thank you, Mbak.
i want more….
aku suka, cerpen yang kaya gini mbaaa. lanjutin lagi dong mbaaa. apalagi temanya hukum. serius lho, aku kok jarang baca cerpen atau karya sastra yang punya tema hukum ya. makanya jadi suka baca cerpenmu ini hehe
Hahahahhha… Thank you, Kak. Will write some more!
karena pembangunan, hal-hal seperti ini memang seringkali terjadi. kadang dengan cara yang benar, kadang dengan cara yang terasa tida benar. perlu banyak certa2 seperti ini untuk menyadarkan orang lain.
Terima Kasih, Babang.
Hukum yang kita anut skrg banyak memunculkan bias memang…
Betul banget, Kak Iqbal.
Kok sedih ya 🙁
Aku jd keinget banyak sawah di area dekte rumahku dulu skrng berganti jd perumahan, entah dibeli berapa. Emang sedih sih, padahal negeri ini terutama tanah Jawa kan subur banget, sayang udah mulai abis…
Nanti kita dipaksa makan bubur semen. 🙁
Cerpen yang tidak jarang terjadi di dunia nyata
Bahkan masyarakat banyak yang bungkam karena hukum tak sebegitu mampu memihak masyarakat kecil
Memang, Mbak. Kenyataan pelik!
Saya jadi ngenes sendiri baca cerita pendek ini Mbak…. Sedih rasanya….
Sedih memang, Mbak. Sayangnya keadaan ini sangat nyata terjadi.
Saya sempat menyangka ini kisah nyata lho, Mbak. Mungkin karena ikut terhanyut saat membacanya. Tetapi, di dunia nyata pun memang dunia pertanian semakin miris kayaknya. Lahan-lahan semakin sempit karena tergusur oleh pembangunan sana-sini
Betul, Mbak. Bentar lagi manusia disuruh makan beton kyknya. 🙁
Aku gak pernah membayangkan kalo kejadian itu menimpaku, bisa mati berdiri deh rasanya
Jangan sampai deh, Kak. *ketuk meja*
Waduh, aku jadi keingetan sama talk show yang beberapa waktu lalu aku hadiri. AgriTalk gitu. Ngomongin soal petani. Miris ya keadaan kita. Negara agraris tapi pertanian semakin sedikit. Padahal, sektor agraris ini penyumbang kedua GDP negara kita. Dan di luar negeri, produk pertanian kita ini sangat potensial. 🙁
Kenyataan pahit tentang negeri yang kita cintai ini, Kak.
Masih selalu terpana baca tulisan Kak Maria. Koq bisa menulis cerpen dari ide sederhana yang memang terjadi dalam kehidupan di Indonesia ini. Fiksi yang nampak nyata sekali ya, tentang hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Ga sabar nunggu cerita lainnya.
Terima kasih sudah mengajrkan dunia blogging dan menjadi pembaca setia, Miss Yun.
Mohon maaf Mak, saya kesel bacanya. Sesuai realita di masyarakat, hukum bisa dipermainkan demi kepentingan segelintir orang.
Hukum itu komoditi. 🙁
Kusuka cerpennya…gayanya khas cerpen Kompas, maknanya dalam dengan alur sederhana. Kereen!
Ditunggu karya selanjutnya Kak Maria
Terima kasih atas semangat dan dukungannya, Kak. Even more, thank you sudah mampir ya.
Berat bahasanya.. Smoga smngat nukis cerpenya, aku aja tak sanggup
Thank you, Kakak Ponder.
Nyesek banget ini ceritanya, gak sadar ikut kebawa alur ceritanya.
Terima kasih sudah mampir ya, Kak Bud
ya ampun endingnya bikin aku nangis kak. Bapak tiba di rumah dengan sebuah keranda. omaygat
Aku terhanyut dengan kisahnya
Terima kasih sudah mampir yah, Kak.
Keren cerpennya, bisa membuat pembaca terhanyut dalam cerita bahkan ketika baru masuk paragraf pertama. Lanjutkan!
Many thanks ya, Kak Den.
Selalu kagum dgn Kak Maria dengan karya-karyanya. Bagus banget dan memiliki pesan tersirat yang dalam. Tetap berkarya ya kak. GBU
Terima kasih banyak yah, Kak Inez. Semoga karya-karya ini bisa menyentuh pembacanya juga.
[…] Baca juga: Mencari Hukum […]
Waaaah… Deg” an banget waktu baca keranda… Susah juga ya, sekarang semua bisa dibeli dengan uang, yang tidak memiliki kekuasaan bisa apa:'(
Such is life ya, Kak. Semoga kesejahteraan bisa merata suatu saat nanti.